Saat Sabine berjalan dari lobi Eloise menuju studio tempat ia biasa menghabiskan beberapa jam sehari untuk latihan, semua mata memandanginya dengan heran. Kejadian memalukan itu masih terngiang di kepalanya dan ia masih benci tatapan menguliti orang-orang yang ia lewati sepanjang jalan. Satu tempat yang langsung ia tuju adalah kantor manajer.
Jonny, pria paruh baya itu, sedang duduk di kursinya dengan sebatang rokok dan kaki di atas meja; menatap ke layar komputernya dengan senyum ala psikopat yang kecanuan film porno. Desas desus bahwa dia sudah lama seperti ini hanya satu dari rahasia umum yang beredar di Eloise. Reaksinya ketika melihat Sabine masuk ruangannya tanpa mengetuk pintu setelah lama Sabine menghilang adalah terkejut lalu sinis.
"Kenapa kamu kembali lagi ke sini? Kamu sudah dikeluarkan," tandas dia, berpura-pura acuh sampai rasanya Sabine ingin melompat ke atas meja kerjanya dan menarik dasi di dadanya sampai ia tercekik dan mati. "Kamu bahkan tidak mampu membayar biaya bulanan."
"Saya sudah memikirkan saran bapak waktu itu dan saya setuju...," kata Sabine, tertunduk ragu-ragu, dan agak gemetaran.
"Maksud kamu apa? Saya tidak mengerti," balasnya masih dengan sikap acuhnya yang menjengkelkan.
"Saya mau melakukan apa pun agar saya lolos seleksi itu, Pak...," kata Sabine lagi memperjelas dengan pelan.
Kedua matanya langsung menengok dengan liar pada Sabine seolah terpancing begitu saja. Lalu seulas senyum mengerikan mengembang di bibirnya yang hitam oleh banyaknya rokok yang telah ia hisap seumur hidupnya itu. Ditambah sepasang mata yang selalu menatap penuh nafsu kotor. Pria itu membuat Sabine merinding ketakutan tapi ia harus bertahan beberapa menit lagi sampai dia benar-benar memakan umpannya.
Dengan pelan, Sabine melangkah hati-hati ke hadapan mejanya untuk menaruh secarik kertas.
"Lebih baik kita bertemu di luar," kata Sabine lagi dengan suara pelan, setengah berbisik. "Saya akan menunggu."
Dahi tuanya berkerut dengan angkuh, tapi matanya memandang ke secarik kertas di atas meja. Lalu senyum mengerikan itu lagi.
"Oke," dia berkata lalu meraih kertas catatan berupa nama hotel dan alamat serta nomor kamar yang harus dia datangi jika ia benar-benar serius dengan tawarannya waktu itu.
"Saya pergi dulu, Pak," ucap Sabine canggung dan segera membalikan badan.
Orang-orang masih menatapinya saat ia keluar dari ruangan manajer. Namun Sabine membalas mereka dengan tatapan hampa sebelum benar-benar berlalu. Sabine kemudian berusaha melepaskan mimpinya tentang balet, Chelyabinsk dan segala hal tentang itu.
***
Pria hidung belang itu datang sekitar jam sembilan malam setelah dia menghubungi nomor telepon yang Sabine tinggalkan di mejanya. Dia memang mengira Sabine akan rela memuaskan pikiran kotornya saat ia masuk kamar hotel itu dan melihat seorang gadis cantik dan muda menunggu di sofa dengan minuman. Senyuman menjijikan itu kembali terbit di bibir hitamnya yang tampak akan menggigit ketika ia mendekat tapi Sabine segera menarik dirnya menjauh dengan beringsut ke sisi sofa yang satunya lagi.
"Bagaimana kalau kita minum dulu?" Sabine menawarkan minuman coklat muda bening yang baru ia ambil dari atas meja.
"Oh... kamu tidak bisa kalau tidak mabuk?" balasnya mengeringai.
Sabine mengangguk pelan. "Saya... belum pengalaman soal ini."
Sabine pun menuangkan sedikit pada gelas rendah yang ada di meja, juga menuangkan satu untuk dirinya sendiri. Pria itu terus menatapinya dengan seringai menjijikan itu saat dia minum. Dia meneguknya sedikit, dan siap untuk mendekat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romansa[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...