November 2015....
Empat belas November tahun ini berlalu begitu saja.
Pada hari itu, Sabine membeli strawbery shortcake sendiri dan menyalakan lilin tunggal di atasnya, menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk dirinya sendiri, meniup lilinnya dengan penuh permohonan –ia tidak ingin sendirian seperti ini lagi, lalu menghabiskan kuenya sambil menangis. Dia berusia sembilan belas tahun sekarang.
Jessica sudah memblokir Sabine sejak dua bulan yang lalu; itu membuat ulang tahunnya kali ini terasa begitu menyedihkan.
Tak ada lagi acara malam mingguan di klub. Berangkat hari Jumat, pulang Senin pagi, bercerita semalam suntuk, atau melihat temannya itu bermesraan dengan lelaki yang baru ia kenal. Walaupun Sabine sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, tapi bukan ini pula yang ia inginkan. Menengok isi lemarinya yang seringkali ia pandangi dengan sedih, tas dan dompet mahal koleksinya yang sebagian besarnya ia dapatkan dari Jessica, seakan mencibirnya. Ia hampir tidak pernah memakainya; semua itu tak ada artinya lagi bagi Sabine.
"Sabine," Roland memanggil Sabine saat ia sedang membereskan tumpukan kertas di mejanya dengan lesu.
Kemarin adalah ulang tahun yang paling menyedihkan baginya dan ia masih mengecek handphone-nya tiap sebentar. Menunggu Jessica menghubunginya. Mungkinkah Jessica lupa ulang tahunnya?
"Kamu siapkan minum. Mertua dan adik ipar saya datang," dia berkata. "Teh Chamomile dan... kopi, mungkin."
Akhirnya saat itu datang juga. Saat Harish Andreas Salim melangkahkan kakinya di Athlon untuk pertama kali setelah sang ayah meninggal dunia; hanya untuk satu tujuan yang pasti –menendang keluar kakak iparnya seperti seekor anjing kumuh.
Sabine langsung menuju pantry setelah memindahkan tumpukan kertas dari meja Roland ke tempat lain yang tidak kelihatan. Sabine bisa mendengar suara Vivian Salim masuk ke ruang setelah diantarkan oleh sekretaris Roland.
"Apa kabar, Roland?" sapa Vivian Salim begitu ia masuk; tidak seperti sebelumnya ia datang dengan tenang.
"Saya baik, Ma," jawab Roland; dia juga tenang seolah mereka tidak pernah berdebat sengit sebelumnya. "Bagaimana dengan Mama?"
"Seperti yang kamu lihat," balas Vivian Salim kedengaran malas.
"Apa kabar, Harish?" Roland terdengar menyapa adik iparnya itu sambil mengulurkan tangannya tapi tidak digubris.
Sabine terkesiap mendengar nama itu; momok paling mengerikan akhir-akhir ini di Athlon sejak Vivian Salim datang dan melabrak menantu yang sudah ia percayai bertahun-tahun.
Dan sosok itu kini tengah melenggang seperti berandal masuk ke dalam ruangan; dengan mengenakan jersey baseball New York City Club, skinny jeans hitam dan sepatu kets –penampilan yang terlalu santai untuk sebuah perusahaan besar seperti Athlon. Warna rambutnya abu-abu terang. Dia tidak terlihat seperti CEO kebanyakan. Tapi, dia adalah Harish Andreas Salim.
Sesuatu yang tidak kelihatan menembak kepala Sabine saat ia membawakan teh Chamomile dan kopi dengan nampan untuk tamu-tamu bosnya saat ia berpapasan dengan lelaki itu. Bola matanya yang coklat terang membelalak, menatap seseorang yang dipanggil Roland sebagai Harish itu lalu menyadari bahwa ia adalah orang yang sama dengan yang pernah ia temui di pesta Natlia setahun yang lalu; si jaket retro yang bertubuh tinggi dan berwajah tampan.
Kilasan, memori pesta Natlia itu kembali dalam sekejap. Mereka bertemu di depan restoom, duduk di meja bartender sambil mengobrol, lalu turun ke lantai dansa bersama, dan pernah sedekat sepasang kekasih yang mesra untuk beberapa saat. Sabine mengingatnya dengan sangat jelas. Tanpa ia sadari pegangannya pada gagang nampan telah terlepas. Lalu yang terdengar adalah suara barang pecah belah yang menghempas lantai dengan keras; membuyarkan segalanya kurang dari sedetik.
Semua mata langsung menengok ke arah Sabine yang membatu di depan Harish; yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, menatapnya datar dan itu jenis tatapan yang sama yang pernah ia perlihatkan pada gadis malang yang ia campakan di restroom itu. Dia tampak tidak kaget sama sekali melihat Sabine seolah tahu ini akan terjadi; atau barangkali dia sudah lupa pada sosok gadis berambut merah yang pernah menari bersamanya di klub satu tahun yang lalu –tentu, orang seperti ini telah berurusan dengan banyak gadis cantik sejak masa puber hingga sekarang.
Sabine tampak limbung dan panik; sudah kehilangan fokusnya ditambah melihat Vivian Salim langsung melotot dengan wajah merah padam.
"Kamu...," giginya gemeretak.
"Ma... maaf....," Sabine sedikit membungkuk padanya dan langsung berlutut untuk membersihkan pecahan kaca di lantai dengan cepat; dan itu menggores ujung jari telunjuknya.
Ia melihat darah menetes, tapi tak ada rasa sakit pada kulitnya yang tergores.
"Kamu tidak apa-apa, Sabine?" Roland menghampiri Sabine; hanya dia yang bereaksi saat yang lainnya hanya menatap dengan sadis. Ia bahkan langsung membantu Sabine membereskannya.
Setelah memunguti pecahan kaca, Sabine bergegas mengelap tumpahan teh yang bercampur dengan darahnya di lantai.
"Tidak perlu repot-repot," kata Vivian Salim padanya saat ia berniat untuk membuatkan minuman yang baru. "Darah kamu menjijikan."
Roland tampak bersimpati padanya sementara Harish masih menatap dengan acuh; dia seperti orang yang berbeda dari yang pernah Sabine temui sebelumnya.
Sabine menyadari bahwa darah dari lukanya sudah mengotori kemeja krem-nya; mungkin Vivian Salim jijik dengan itu, pikirnya mengabaikan firasat bahwa yang dianggap 'darah menjijikan' itu adalah keturunannya –Sabine ingat wanita itu pernah menyinggung soal latar belakang sebelumnya.
"Silakan keluar," Vivian Salim mengusirnya.
Sabine mengangguk. "Baik, Bu," ucapnya dan saat itu Harish menoleh padanya dengan ekspresi tidak terbaca.
Sensasi perih di jarinya baru terasa setelah ia meninggalkan ruangan Roland. Darahnya masih terus menetes. Dengan buru-buru ia pergi ke toilet. Ia mencuci lukanya di bawah wastafel dan cairan merah pekat itu masih mengalir dengan cukup deras. Tapi, yang menjadi beban pikirannya adalah Harish yang sama sekali tidak tampak terkejut menemukan Sabine bekerja di kantor kakak iparnya.
Sabine berasumsi mungkin saja lelaki itu sama sekali tidak mengenalinya lagi karena itu sudah lama atau karena Sabine yang dulu berambut merah, sekarang terlihat berbeda.
Tapi, apa itu mungkin?
Sabine mencoba menghubungi Jessica. Tapi, seperti biasanya panggilan itu tidak pernah tersambung. Di mana Jessica saat ia membutuhkannya?
***
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romance[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...