Ch. 50 - VIXEN

176 13 0
                                    

Kata frustasi tidak cukup untuk mewakilkan perasaan yang berkecamuk di dadanya sekarang. Begitu ia kembali ke kantornya, ia tidak dapat menahannya lagi.

"Sialan...," gerutunya kesal entah pada siapa; namun bukan Laura yang membuatnya kebingungan, bukan Kellan yang masih membencinya, bukan pula Sabine yang seharusnya tidak perlu melihat semua itu.

Semakin ia memikirkannya semakin ia ingin berteriak tapi tak bisa. Pada akhirnya ia menyingkirkan semua kertas-kertas yang ada di mejanya; merasa pekerjaannya adalah penyebab mengapa ia begitu tertekan. Tapi, setelah menyaksikan lembaran itu bertaburan di lantai, Harish sadar bahwa juga bukan itu.

Melainkan dirinya sendiri. Harish hanya kesal pada dirinya sendiri. Mereka hanya pemicu. Rutinitas ini hanya pemicu.

Namun ia mendengar sesuatu yang cukup asing baginya; suara notifikasi handphone yang bukan miliknya. Harish langsung menemukan benda itu di atas mejanya dalam keadaan bergetar. Seseorang menelepon; nomor tak dikenal.

Tanpa pikir panjang ia mengangkat panggilan di handphone Sabine itu.

"Bin, apa kabar? Ini Jessica. Kamu di mana sekarang? Bisa kita bertemu sebentar?" tanya suara di seberang sana tanpa jeda; seolah-olah ia sengaja melemparnya sekaligus sebelum Sabine yang tak ingin berurusan dengannya lagi langsung menutup telepon begitu tahu itu adalah dirinya "Ada hal penting yang harus aku beritahu... ini... soal Keluarga Salim."

Mendengar namanya langsung disebut, darahnya langsung mendidih.

Kenapa perempuan gila ini harus menelepon Sabine di saat-saat seperti ini?

"Ada apa dengan keluargaku?" tanya Harish, suaranya bengis.

Kalau saja perempuan gila itu ada di depannya saat ini, ia pasti sudah mencekiknya.

"Ma... mana Sabine?!" teriak suara itu; terdengar ketakutan. "Kenapa malah kamu yang mengangkat teleponnya?"

"Dia tidak ada di sini," kata Harish. "Sekarang katakan apa yang ingin kamu beritahukan padanya tentang keluargaku?"

"Kamu tahu betul apa itu," balas Jessica. "Kalian keluarga yang mengerikan dan aku harus menyelamatkan Sabine darimu."

Harish terkikih. "Menyelamatkan Sabine?" balas Harish menyindir. "Bukankah kamu yang melemparkannya padaku dengan sengaja?"

Jessica terdiam di seberang sana.

"Kalau kamu tahu keluargaku mengerikan, seharusnya kamu tidak bermain-main denganku," ancam Harish lagi. "Jessica, kenapa kamu tidak mencemaskan diri kamu sendiri? Biar aku ulangi sekali lagi. Aku mengampunimu karena aku masih punya pertimbangan lain."

Perempuan gila itu sangat berarti bagi Sabine. Jadi Harish membiarkannya.

"Tapi, jika kamu masih saja datang untuk mengganggunya, aku akan mengirim orang ke tempat persembunyian kamu sekarang juga untuk menghabisi kamu...,"

"Kalian sama saja... kamu dan Roland tak ubahnya seperti pembunuh berdarah dingin...."

Harish menyeringai. "Jessica... kamu sama sekali tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan...," katanya bengis. "Ah iya, aku lupa kalau sebenarnya aku tidak perlu repot-repot mengotori tanganku untuk lalat seperti kamu. Aku hanya perlu membiarkan si keparat tua melakukannya lebih dulu...."

"A... apa?"

"Jangan pikir aku tidak tahu kalau saat ini kamu sedang berlarian di luar sana seperti rubah yang dikejar oleh pemburu dan mencoba untuk terus bersembunyi. Cepat atau lambat si keparat tua itu pasti akan menemukan kamu dan mencincang kamu untuk makanan peliharaannya."

Teleponnya langsung terputus.

Harish kembali duduk di kursinya; menaruh handphone Sabine kembali di mejanya. Lagi-lagi ia meringis sambil memegangi kepalanya yang seakan ingin meledak. Untuk hari ini Harish benar-benar tidak bisa mengerjakan apa pun; fokusnya telah pecah ke segala arah.

Satu jam kemudian, giliran handphone-nya yang berbunyi. Pesan dari Laura.

Aku kembali ke Emperor sekarang.

Aku akan segera mengatur penerbangan ke Singapura

Juga hotel untuk menginap selama dua minggu.

Aku sudah memberitahu Felix untuk menyiapkan keperluan kamu.

Harish tak membalasnya. Ia mengabaikan pesan itu dan kembali berwajah muram. Perhatiannya kembali teralihkan pada handphone milik Sabine yang berwarna putih dan tersenyum sendiri saat memandangi layar kuncinya –ilustrasi nuansa pastel sepasang sepatu balet dari penari yang sedang melakukan pointe.

Lalu seseorang mengetuk pintunya; saat ia masih duduk diam di kursinya membelakangi meja kerjanya.

"Masuk," sahut dia, tanpa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan kota di bawah sana.

"A... aku... ingin mengambil handphone-ku," kata suara itu padanya.

Harish memutar kursinya. Sabine yang terlihat canggung berdiri di depan pintu.

"Ambil saja," kata Harish melirik handphone miliknya yang berada di atas meja. "Tapi, bereskan itu dulu."

Perhatian Sabine langsung teralihkan pada kekacauan yang ada di lantai. Kertas-kertas dan barang yang rusak karena dibanting. Ia terlihat kaget sekaligus khawatir; Harish benar-benar berada dalam suasana hati yang begitu buruk dan baru saja mengamuk.

Namun, selama Sabine membersihkan ruangannya, Harish sama sekali tidak beranjak dari kursinya. Ia tidak melakukan sesuatu selain duduk menghadap jendela kaca setinggi langit-langit ruangan itu sambil merokok. Selama itu juga sudah membuang banyak puntung rokok di kakinya.

"Kamu bisa berdiri sebentar?" tanya Sabine padanya. Ia ingin membersihkan lantai dengan penyedot debu portabel yang ia ambil dari ruang perlengkapan.

Harish langsung berdiri; gadis itu berada tepat di depannya –sedikit membungkuk untuk bisa mendapatkan penyedot debu menghisap semua butiran halus yang bertebaran.

"Sudah, biarkan saja," kata Harish padanya. "Aku akan menyuruh office boy membersihkan semuanya."

"Tidak apa-apa, tinggal sedikit lagi," kata Sabine padanya berujar; ia terlihat biasa saja setelah beberapa jam lalu ia berlari pergi dari sini sambil menangis.

Seharusnya gadis itu mengatakan sesuatu padanya; ungkapan cemburu atau apa pun soal kejadian tadi. Tapi, tidak ada. Dia memang benar-benar bekerja seperti pesuruh yang handal; posisi Sabine di perusahaan ini seolah menghinanya. Ketidaktenangan yang coba ia redam dengan melamun dan menghisap berbatang-batang rokok kembali menyala.

Sabine terkejut setengah mati saat Harish tiba-tiba menarik lengannya yang sedang memegang penyedot debu. Benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh dengan suara yang lumayan keras. Sementara Harish mencengkram salah satu lengannya dengan erat.

"Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu padaku, Sabine?"

"Sesuatu apa?"

"Apa pun."

"Tidak ada."

Jawaban Sabine yang acuh terdengar begitu menjengkelkan. Emosinya sudah berada di ubun-ubun. Ia kembali merangkul gadis itu dan mencoba untuk menciumnya lagi berharap itu benar-benar membuatnya tenang. Namun, gadis itu menghindar dan pada saat yang tidak ia duga sama sekali, Sabine memberinya satu tamparan keras yang membuatnya sadar.

"Cukup, Harish!" teriaknya menatap dengan masam sekaligus marah.

Harish hanya termangu; menatapnya dengan menyesal. Ini pertama kalinya Sabine memukul.

Nafasnya sesak. Rautnya kembali menunjukkan ketakutan. Lalu dengan buru-buru ia langsung mengambil handphone miliknya di meja dan berlari keluar. Dan setelahnya... gadis itu memang selalu berlari pergi darinya; seperti waktu itu ketika dia meninggalkannya begitu saja di pertemuan pertama mereka.

Reminder:

Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)

Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.

Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks


MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang