Handphone-nya berbunyi. Sebuah pesan masuk. Dari Harish.
Ke kantor sekarang
Terpancing rasa kesal, Sabine langsung membalasnya.
Aku sedang makan siang.
Selalu setiap jam kantor hampir selesai atau istirahat siang, Harish akan mengirim pesan. Dan itu telah berlangsung sejak Sabine mendiamkannya setelah insiden dengan Laura. Ia harus menghentikan dirinya sendiri mulai sekarang.
Tak ada balasan dari Harish walau ia telah membaca pesan itu. Sabine pun menutup kotak pesan dan melanjutkan makan siangnya yang menjadi tidak tentram. Lalu hampir sepuluh menit setelah selesai makan, Sabine kembali memandangi layar handphone-nya. Harish memang tidak lagi mengiriminya pesan.
Tapi, Sabine baru akan menarik nafas lega dan mengira Harish tidak akan mengganggunya lagi saat ternyata lelaki itu muncul di kafetaria dan dengan wajah merah padam. Sosok yang mengenakan jaket bomber hitam itu langsung menghampiri mejanya.
"Beraninya kamu mengabaikan pesan saya, Sabine," tegur dia; dan semua orang melihatnya.
Sabine tidak percaya; lelaki itu kembali mempermalukannya.
"Kamu lupa, kalau saya bukan Roland," sambung dia –sepertinya sengaja mengatakan itu agar semua orang mengira kemarahan yang Harish tunjukan semata-mata sebagai atasan yang tidak suka dengan ketidakpatuhan bawahannya.
"Ma... maaf, Pak....," ucap Sabine menundukan kepala.
Tapi, Harish segera meninggalkan tempat itu dengan penuh keangkuhan untuk menunjukan betapa pun Sabine menghindarinya, dia selalu punya cara untuk mengendalikannya. Sabine terpaksa mengikutinya di belakang seperti seekor anjing liar yang baru saja dilumpuhkan dan diberangus lehernya.
"Kunci pintunya," perintah pria itu padanya setelah mereka berada di dalam.
Sejak saat itu rasanya benar-benar seperti hidup di neraka.
"Bukankah aku sudah mengatakannya? Jangan pernah mengabaikan pesanku!" katanya dengan kesal.
"Apa lagi, Harish? Aku sudah bersama kamu hampir setiap malam sebelumnya! Kenapa masih tidak cukup?!".
"Masih berani melawanku terus?" tanya dia; mencengkram dagunya. "Kamu tidak bosan bertengkar denganku?"
Aku? Kenapa dia selalu menyalahkanku?
Sabine diam saja; hanya membalas tatapannya sedingin ia menatap dirinya saat ini.
"Lain kali kamu menganggapku sepele, aku akan membuat kamu benar-benar menyesalinya," ancam dia lagi sebelum mencium dengan kasar beberapa detik. Harish kembali memandangnya dengan gusar setelah ia berhenti. "Ada apa lagi? Kenapa kamu tidak membalasnya?"
Sabine hanya mulai jijik. Sentuhannya, ciumannya dan bahkan saat mereka bercinta di ruang kerjanya dengan cepat di mana kemudian lelaki itu membiarkannya jatuh seperti budak setelah ia mendapatkan klimaksnya.
"Ini belum cukup," ia memperingatkan. "Aku akan menghubungi kamu begitu jam kerja selesai."
**
Sabine tidak lagi merasakan hasrat yang menggebu-gebu terhadapnya. Terlebih pada malam-malam di mana ia harus datang ke salah satu kamar hotel di mana pria itu menunggunya. Dulu memasuki kamar itu seperti sebuah pelarian nakal yang menyenangkan. Mereka masuk dengan buru-buru dan saling menanggalkan pakaian untuk kemudian naik ke ranjang dan mulai bergumul seakan esok tidak akan ada.
"Kenapa kita harus selalu melakukan ini?" Sabine bertanya padanya saat kemesraan baru dimulai tapi ia sudah kehilangan selera.
"Karena aku tidak mau melakukannya dengan yang lain," jawab Harish singkat dan jelas menatapi gadis itu lekat-lekat. "Kalau aku mau, aku bisa saja memanggil orang lain."
Sabine memalingkan wajahnya saat Harish kembali untuk mencumbunya.
"Aku sudah tidak mau, Harish," kata Sabine.
"Kenapa? Aku sudah tidak memuaskan lagi?"
Harish masih mencoba untuk mendapatkan bibirnya ke mana pun wajahnya berpaling.
"Kamu sudah bosan dengan punyaku?" tanya dia lagi.
Bahasa vulgar masih terasa asing di telinga Sabine yang selalu merasa malu.
"Kita tidak bisa terus melakukannya karena aku sudah tidak ingin menemui kamu lagi," jelasnya.
"Apa salahku sampai kamu tidak mau melihatku lagi?"
Sabine tidak menjawab; pembicaraan mereka selalu tidak berakhir dengan baik karena Harish tidak akan peduli dengan apa pun yang ia katakan. Sulit untuk membuatnya mengerti bahwa hubungan yang tak tahu akan pergi ke mana ini menyiksanya.
"Baik," kata Harish lagi; menatap gadis itu sungguh-sungguh.
Ekspresinya mengeras; mungkin ia sudah muak dengan penolakan Sabine bahkan setelah mereka di ranjang dan baru saja bermesraan, gadis itu terlihat jijik padanya.
"Kalau kamu tidak mau, aku akan melakukannya dengan Laura tepat di depan kamu. Supaya kamu bisa melihat bagaimana dia bisa menjadi salah satu favoritku dulu."
Laki-laki ini begitu... kejam.
"Laura sangat mahir dalam segala hal. Dia bisa menghisapku dengan benar dan kebanyakan dari yang pernah aku lakukan dengannya, dia tidak membiarkanku bekerja sendiri," katanya di telinga Sabine. "Dia tahu cara memuaskanku dengan tangan dan mulutnya...."
"Kenapa kamu tidak menemuinya saja?" balas Sabine kecut.
Harish hanya menyeringai. Tidak menghiraukan pertanyaan itu dengan mencumbu paksa dirinya.
Sekarang Sabine benar-benar membenci segala hal tentang hidupnya; termasuk dirinya sendiri yang membiarkan Harish menikmati tubuhnya dengan cara yang kasar. Tak peduli seberapa keras ia berteriak, lelaki itu tidak pernah berhenti. Kata-kata kotornya yang ia ucapkan di telinga Sabine seakan sengaja untuk membuatnya terus mengingat semua ini.
***
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana. Jangan khawatir, tampilan blog aku hampir sama seperti interface webnovel pada umumnya.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romance[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...