Kian Santang menghembuskan napas berat. Meletakkan secarik kertas di atas meja. Menatap iba ke arah Ratu Mewar yang tertunduk dalam. Terpancar jelas raut kesedihan di wajah sang ratu Kumpar Putih itu. Ia terlihat berputus asa dan pasrah dengan keadaan.
Beberapa waktu lalu, saat seorang prajurit mengatakan bahwa Kian Santang dan Surawisesa datang ingin menemuinya, ratu Mewar merasa senang. Ia begitu antusias menyambut kedatangan kedua putra Siliwangi itu. Tapi saat mengetahui tujuan kedatangan keduanya, seketika itu juga perasaan ratu Mewar berubah. Kesedihan yang terpendam menyeruak keluar kepermukaan. Ia tidak dapat menahan diri dan terbawa perasaan.
"Sejak itu, aku tidak pernah lagi melihat wajah putriku. Dia pergi begitu saja. Hanya meninggalkan surat itu untukku," ratu Mewar berusaha menahan isakannya.
Kian Santang terdiam. Menatap Surawisesa yang terlihat iba dengan raut wajah yang tidak bisa di artikan. Antara sedih, atau kebingungan.
"Maafkan kami, ratu Mewar," ujar Surawisesa lirih. Matanya terlihat sayu, menunduk pelan.
"Kenapa minta maaf? Ini bukan kesalahan kalian. Lagipula Padjadjaran sudah sangat membantu Kumpar Putih, khususnya putriku. Kalian sudah menganggapnya sebagai bagian dari kalian. Kalian pun turut mencemaskannya. Seharusnya aku yang berterima kasih," ujar Ratu Mewar berusaha tersenyum.
"Kau mungkin akan membenci Padjajaran jika tau yang sebenarnya," Surawisesa mengusap wajahnya yang tegang.
"Ratu Mewar," Kian Santang menatap teduh. "Aku tidak tau penyebab kepergian Putri Kianara, tapi ... Aku akan berusaha mencari tahu. Jadi, tolong bersabarlah, dan terus berdoa untuk kebaikan Putri Kianara," ujar Kian Santang membesarkan hati Ratu Mewar.
Tatapan keputusasaan itu berubah. Sinar harapan terpancar dari mata Ratu Mewar. Ia menatap penuh harap kepada Kian Santang.
"Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun. Setiap kemungkinan bisa saja terjadi, dan ratu harus bisa menerimanya." Kian Santang menghembuskan napas pelan.
Ratu Mewar tersenyum kecil. Mengangguk. "Apapun yang terjadi aku akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Kau semakin membuatku yakin, bahwa dirimu memang layak di kagumi oleh putriku. Jika dia melakukan suatu hal yang besar untukmu, maka aku akan sangat bersyukur." lirih ratu Mewar.
Kian Santang terdiam. Begitupun Surawisesa. Keduanya akhirnya pamit setelah lama berbincang dan menerima jamuan makan dari kerajaan Kumpar Putih.
"Aku berharap banyak padamu," ujar Ratu Mewar sebelum Kian Santang dan Surawisesa melangkah meninggalkan istana Kumpar Putih.
"Jangan berharap pada manusia, Ratu. Berharaplah hanya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, insyaa Allah, semua akan di mudahkan oleh Allah,"
Kian Santang akhirnya undur diri. Meninggalkan istana Kumpar Putih. Ratu Mewar mengantar kepergian mereka sampai gerbang istana.***
"PUTRIMU TELAH DI KUTUK!! LIHAT! PUTRAKU MATI KARENA DIRINYA!!" Dada lelaki berusia setengah abad itu naik-turun menahan amarah yang meluap. Menatap geram wanita setengah baya di hadapannya.
"JAGA UCAPANMU!! PUTRAMU ITU YANG PEMBAWA SIAL! AKU MERASA BERUNTUNG KARENA DIA MATI SEBELUM MENIKAHI PUTRIKU. KALAU TIDAK, ENTAH APA YANG AKAN TERJADI PADA PUTRIKU NANTI!"
Percekcokan antara dua suku tak dapat di elakkan. Kedua calon besan itu saling menuding. Di sisi lain, suara tangis mengiringi keributan itu. Orang-orang yang hadir kelimpungan. Bingung dengan keadaan yang semakin tak terkendali.
"DIAAAMM!!! APA KALIAN TIDAK AKAN MENGUBURKAN MAYAT PUTRAKU DAN MEMBIARKANNYA MEMBUSUK DI SINI? HENTIKAN PERDEBATAN INI!!" Tangis seorang ibu pecah. Ia berteriak histeris memarahi suami dan calon besannya yang sibuk bertengkar.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALINYA RADEN KIAN SANTANG (SPECIAL.VERSION)
FanfictionPerjalanan seorang pangeran kerajaan besar di tataran pasundan membawanya menuju kubangan permasalahan yang tak kunjung habisnya. Kejahatan terus mengintai mengancam setiap orang terkasih. Pengorbanan dan perjuangan menjadi bumbu dasar disetiap uji...