Ahana menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya sembap habis menangis. Polesan di wajah sudah menghilang. Di bersihkan oleh Laras, sahabatnya. Sanggulnya sudah di lepas. Begitu pula riasan yang tersemat di kepalanya. Kini, Ahana hanya mengenakan gaun kebaya putihnya, dengan tampilan seperti biasa. Rambut panjangnya di biarkan menjuntai. Tidak peduli lagi untuk merapikannya.
"Sudah, Ahana. Jangan terus-menerus menangis. Nanti kepalamu bisa sakit," tegur Laras yang datang membawakan nampan berisi makanan dan minuman untuk Ahana. Sejak semalam, gadis itu tidak makan apapun. Ia terlalu larut dan trauma dengan kejadian yang terus menerus menimpanya.
"Aku ingin mati saja!" seru Ahana frustrasi.
Mata Laras membulat sempurna. Terkejut dengan perkataan Ahana yang melantur. Ia bergegas meletakkan nampan di meja. Mendekati Ahana. Menenangkannya.
"Jangan berkata begitu, Ahana. Itu tidak baik. Masalah tidak akan selesai begitu saja dengan mengambil langkah seperti itu." seru Laras. Ia sedikit bergetar takut mendengar penuturan Ahana. Sahabatnya itu cukup nekat.
"Setidaknya aku terbebas dari semua penderita ini, Laras. Aku tidak kuat. Semua orang menghujat dan mencelaku. Mereka tidak tahu bahwa aku juga menderita. Perasaanku selalu di permainan. Semua ini seperti permainan!!" pekik Ahana tertahan. Ia tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis.
Laras segera mendekap Ahana. Menguatkannya. Tidak ada yang bisa di lakukan anak pelayan sepertinya. Ia hanya bisa menjadi penonton. Tidak bisa melakukan apapun untuk sahabatnya.
"Andai ayahanda masih ada ...." lirih Ahana tertahan.
"Putri Ahana! Anda di panggil Ratu Cempaka, segera menuju ke balai utama."
Ahana dan Laras serentak mengangkat kepala. Terkejut mendengar penuturan dari pengawal Ratu Cempaka.
"Bunda? Kenapa bunda memanggilku? Ada apa lagi ini?" kesal Ahana. Ia sudah lelah dengan semua drama ini. Membuat kepalanya sakit saja.
"Ayo, Ahana. Jangan sampai Bunda Ratu marah." ujar Laras memperingatkan. Terlambat sedikit saja, sudah pasti di omeli habis-habisan. Laras sudah berpengalaman soal itu.
"Baiklah," Ahana akhirnya bangkit. Menggenggam tangan Laras untuk ikut bersamanya. Saat ini, hanya Laras satu-satunya orang yang mengerti betul perasaannya. ahana tentu tidak ingin jauh dari Laras.
***
Kian Santang dan Surawisesa kelimpungan, melihat segerombolan orang-orang yang berada di hadapan mereka. Wajah-wajah mereka terlihat sangat mengintimidasi. Tapi tentu saja tidak membuat Kian Santang dan Surawisesa gentar.
Sebetulnya Kian Santang dan Surawisesa dapat melawan gerombolan orang-orang yang menangkap mereka. Tapi melihat kekuatan mereka yang sepertinya di bawah rata-rata membuat Kian Santang enggan melakukan perlawanan. Ia ingin tahu, atas dasar apa orang-orang itu menangkap mereka.
"Apa yang kalian inginkan, hm? Apa kalian perampok atau semacamnya? Kami tidak punya harta berharga yang kalian inginkan!" Seru Surawisesa.
"Enak saja! Kami bukan perampok! Kami adalah prajurit di kerajaan kami!!" seru salah seorang dari mereka.
Kian Santang dan Surawisesa saling tatap. Tidak paham.
"Dari kerajaan mana kalian? Siapa Raja kalian?" tanya Kian Santang.
"Akulah penguasa mereka!" seorang wanita setengah baya menyelinap masuk dari gerombolan yang ada. Orang-orang yang mengaku sebagai prajuritnya itu segera memberikan penghormatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALINYA RADEN KIAN SANTANG (SPECIAL.VERSION)
FanfictionPerjalanan seorang pangeran kerajaan besar di tataran pasundan membawanya menuju kubangan permasalahan yang tak kunjung habisnya. Kejahatan terus mengintai mengancam setiap orang terkasih. Pengorbanan dan perjuangan menjadi bumbu dasar disetiap uji...