9 : Juan Kakaknya Jelita

280 67 14
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

"Pulang ya dek. Kakak kangen."

Bujuk Juan untuk yang kesekian kalinya sejak Jelita memutuskan untuk menerima panggilannya. Jelita menghela nafas panjang, sama sekali tak berminat menjawab ajakan kakaknya.

"Oke. Kamu gak mau pulang juga gak apa-apa. Kakak gak bakal maksa deh. Tapi tolong kasih tau kakak kamu dimana? Kakak cuma mau mastiin kalo kamu baik-baik aja."

"Aku baik-baik aja kak. Sangat baik-baik aja." Sahut Jelita yakin. Karena disadarinya atau tidak, Jelita mulai terbiasa dengan tempat ini. Semua warga di komplek sangat memperhatikannya semenjak ia memutuskan untuk memperkenalkan dirinya sebagai warga baru.

"Kamu gak kangen sama kakak? Kakak ada salah sama kamu? Makanya kamu gak mau ngasih tau kakak keberadaan kamu?"

Jelita kembali menghela nafasnya. Lagi-lagi kakaknya ini mencoba membujuknya dengan kalimat yang ia buat se drama mungkin. Ia bahkan yakin jika laki-laki bertubuh bongsor itu tengah mengerucutkan bibirnya. Benar-benar tak sesuai dengan penampilannya yang tinggi besar.

"Jangan mulai lagi deh kak. Atau aku tutup telfonnya dan blokir nomor kakak."

"Eh jangan! Nanti kakak makin gak tau keberadaan kamu." Seru laki-laki itu panik. Sementara Jelita tersenyum geli karenanya. Senyum perempuan itu kemudian sirna saat tatapannya beralih pada jam dinding kamarnya.

"Uda dulu kak. Jelita harus pergi."

"Kemana?"

"Kerja."

Kali ini laki-laki di seberang telfonlah yang menghembuskan nafasnya. Sedikit kecewa karena panggilannya harus berakhir.

"Nanti malem Jeita telfon lagi." Seolah mengerti dengan kesedihan sang kakak, perempuan itu kembali bersuara. Yang membuat senyuman terbit di wajah Juan. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa, Juan membiarkan Jelita memutus sambungannya lebih dulu.

"Gimana nak?"

Sosok yang sejak tadi duduk di seberangnya itu akhirnya bersuara. Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya yang mulai menua. Juan memandang wanita paruh baya yang melahirkannya sejak 28 tahun silam dengan tatapan sendu. Kemudian dengan kembali menghela nafas, laki-laki itu menggeleng pelan.

"Juan coba bujuk Jelita lagi lain kali ya ma?" Sahutnya yang membuat gurat kecewa kini timbul di wajah ibunya. Lola, wanita yang bahkan masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda, pada akhirnya hanya dapat mengangguk pasrah.

*

"Buru-buru banget baliknya bun."

Tania menggeleng heran melihat kelakuan putera bungsunya yang sudah sejak tadi merengek memintanya untuk tinggal lebih lama. Ia belai lembut tiap helai rambut hitam Jovan dan melayangkan kecupan gemas di kening puteranya.

"Makanya kamu yang pulang. Ajak abangmu juga buat pulang. Kalian sejak pindah kesini uda gak pernah jengukin bunda sama ayah." Ucap Tania membuat Jovan mendengus kemudian menjauhkan diri yang semula bersandar pada bahu ibunya.

"Bang Zafran kan sibuk kerja bun. Mana bisa dia nginep di rumah? Jarak kantornya dari rumah ayah bunda juga kan jauh." Sahut Jovan memberi pengertian.

"Yaudah kalo gitu kamu aja yang nginep. Gimana? Mau ikut ayah sama bunda pulang?" Ujar Tania pantang menyerah untuk meyakinkan Jovan. Namun belum sempat laki-laki itu kembali menanggapi, kehadiran Zafran dengan membawa tas milik kedua orang tuanya berhasil menginterupsi.

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang