Jangan lupa like + komen.
***
"Pake es nggak?"
Zafran yang tak juga mendapatkan respon atas pertanyaannya, memutuskan untuk kembali ke ruang tamu dengan membawa gelas berisi jus apel yang baru saja ia buat. Namun yang laki-laki itu dapati adalah Jelita yang kini berdiri membelakanginya. Zafran beralih pada sosok yang kini menjadi pusat perhatian perempuan itu.
"Lah, uda dateng. Baru aja mau gue jemput." Ucap Zafran memberi sapaan pada Juan, temannya yang akan menginap di rumahnya selama beberapa hari ke depan.
Juan yang masih nampak terkejut itu beralih menatap Zafran dan tersenyum canggung.
"Kelamaan lo." Ucapnya yang kembali mengalihkan pandangannya pada Jelita yang masih saja bungkam. Zafran yang pada dasarnya memang cukup peka dengan keadaan, mulai menyadari situasi canggung diantara keduanya.
"Jelita." Panggil Zafran yang membuat Jelita menatapnya. Laki-laki itu kembali tersenyum dan menunjukkan gelas berisi jus di tangannya.
"Mau pake es nggak?" Tanyanya lagi. Jelita menghela nafas samar kemudian menggeleng pelan.
"Maaf mas, kayaknya aku harus pulang." Sahut Jelita berusaha mengabaikan sepasang manik mata Juan yang menatapnya tanpa berkedip.
"Loh? Trus jusnya?"
"Lain kali aja." Sahutnya yang kemudian bergegas pergi.
*
Juan tau, jika pertemuan terakhirnya dengan Jelita kemarin tak akan membuahkan hasil yang baik jika ia menghubungi adiknya dan menanyakan banyak hal. Maka yang laki-laki itu lakukan adalah diam dan menahan keinginannya untuk menghubungi Jelita.
Kini Juan mengetahui fakta menarik bahwa Jelita adalah tetangga belakang rumah Zafran setelah ia mengorek informasi lebih lanjut dari sang sahabat. Dari banyaknya tempat yang memungkinkan menjadi pelarian adiknya, kota ini sama sekali tak masuk dalam daftar yang ia perkirakan. Kota yang bahkan bibinya tinggalkan tanpa berniat untuk kembali.
"Gak sarapan?"
Zafran yang baru saja menyelesaikan ritual paginya dengan membersihkan diri kini duduk di samping Juan dengan sebuah handuk yang ia sampirkan di leher.
"Males. Masakan lo gak enak." Sahut Juan singkat seraya menyesap kopi pahit miliknya. Zafran yang sudah biasa dengan hinaan Juan hanya memutar mata malas.
"Itu masakan bunda. Gue uda gak pernah masak lagi."
"Oh ya? Sejak kapan?"
"Sejak Jovan keracunan masakan gue. Puas lo?" Sahut Zafran tak ramah. Juan terkekeh saat mendengar jawaban bernada ketus yang laki-laki itu lontarkan.
"Btw Ju."
"Apaan?"
"Jelita beneran adek lo?"
Juan hanya diam mendengar pertanyaan Zafran. Setelah memberitahukan hubungannya dengan Jelita, Zafran tak banyak berkomentar. Lalu hari ini tiba-tiba laki-laki itu menanyakan hal tersebut.
"Emang kenapa?"
"Ya, agak gak percaya aja kalo Jelita yang pendiem gitu punya abang modelan lo."
Juan berdecak mendengar penuturan sahabatnya. Lalu netra laki-laki itu menatap lurus ke depan. Terlihat menerawang.
"Dulu dia gak kayak gitu." Ucap Juan setelah terdiam cukup lama.
"Pendiem. Bukan Jelita banget."
Ada senyum tipis namun bermakna miris yang terukir di wajah Juan saat menyebutkan nama adiknya.
"Jelita dulu anaknya ceria, murah senyum, dan gampang akrab sama siapapun. Dia juga cukup cerewet. Sampe gue kadang-kadang capek buat ngeladenin semua omongan Jelita."
Zafran mengernyit heran. Sedikit tak percaya dengan yang didengarnya barusan. Namun disaat yang sama ia menjadi ingin tahu mengenai alasan sebenarnya yang membuat perempuan yang katanya sangat ceria itu kini berubah menjadi pendiam dan sedikit tertutup.
"Jelita kenapa?"
Akhirnya Zafran memutuskan bertanya. Setelah Juan tak melanjutkan kalimatnya untuk waktu yang lama. Juan menoleh kemudian kembali tersenyum. Sebuah senyuman tanpa makna yang Zafran sendiri tak ingin menerka.
"Karena mama." Ujar laki-laki itu dengan nada rendah.
"Gue ngerasa bersalah harus bilang ini. Tapi letak permasalahannya emang di mama, secara garis besar."
"Maksud lo?"
"Lo tau kan, kalo bokap gue uda meninggal?"
Zafran mengangguk cepat menanggapi ucapan Juan.
"Itu sepuluh tahun yang lalu. Pas Jelita masih SMP. Kecelakaan pas mau ngunjungin rumah adeknya, tante gue yang rumahnya ditempatin Jelita sekarang." Juan kembali menatap lurus ke depan. Tak perlu kata-kata, dari sorot mata laki-laki itu sudah tergambar jelas. Betapa ingatan masa lalunya masih menyisakan duka yang tak akan hilang dengan mudahnya.
"Saat itu Jelita masih baik-baik aja. Dia gak berubah dan masih jadi penguat bagi kami. Bahkan dia yang selalu ngehibur gue pas masih berduka karna kepergian bokap secara tiba-tiba. Gue abangnya, tapi justru Jelita yang seolah jadi kakak buat nenangin adiknya."
Ada jeda sejenak sebelum Juan melanjutkan kalimatnya..
"Saat beranjak dewasa, untuk pertama kalinya Jelita dateng ke gue dan cerita kalo dia lagi deket sama cowok. Temen kampusnya. Selama ini Jelita gak pernah suka sama siapapun. Dia terlalu fokus sama sekolah dan main ama temen-temennya. Gue inget banget gimana cemburunya gue waktu tau ada cowok selain gue sama bokap yang bisa bikin dia bahagia."
Juan tersenyum geli saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Zafran juga tak mampu menahan senyum membayangkan seberapa protektifnya laki-laki itu pada adiknya.
"Tapi kebahagiaan itu cuma sementara. Dan kecemburuan gue gak bertahan lama." Lanjut Juan seiring dengan senyumnya yang perlahan menghilang.
"Mama bilang dia pengen nikah lagi. Dan bukannya marah, Jelita malah seneng. Dia pikir mama perlu temen. Karena setelah papa pergi, mama lebih sering sendirian di rumah saat anak-anaknya sibuk sama sekolah dan kerjaan."
Zafran mulai ragu untuk menanyakannya. Berpikir jika hal ini terlalu pribadi untuk di ceritakan. Namun Juan kembali menoleh dan bersiap untuk menceritakan permasalahannya.
"Sampai akhirnya Jelita tau siapa calon papa tirinya." Lanjut Juan.
"Ayah dari cowok yang Jelita taksir adalah calon suami mama. Dan lo tau apa yang paling bikin Jelita gak terima? Om itu masih punya istri dan nyokap mau jadi istri kedua."
Zafran terdiam, sedikit terkejut dan tak mampu menerka. Rupanya permasalahan perempuan itu tak sesederhana yang ia pikirkan.
"Di waktu yang sama, cowok yang Jelita taksir juga bersikap kasar dan ngucapin kata-kata yang gak semestinya. Ya, gue gak bisa nyalahin dia sepenuhnya. Karena gue akan ngelakuin hal yang sama, mungkin."
"Dan sejak saat itu Jelita berubah?" Tebak Zafran yang Juan jawab dengan anggukan pelan.
"Jelita mulai menutup diri dari temen-temennya setelah gosip tentang mama beredar di kampus. Dia juga jadi sering murung dan gak pernah keluar rumah selain kuliah. Jelita juga gak mau lagi ngomong sama nyokap. Hubungan kami gak lagi harmonis Zaf. Meskipun nyokap uda mutusin pacarnya dan gak jadi nikah, itu gak akan bisa balikin Jelita yang dulu." Ucap Juan menutup ceritanya.
Laki-laki itu kembali tersenyum dan menepuk pelan pundak Zafran.
"Gue bisa cerita ini ke lo karena gue juga tau masalah lo. Jadi kita impas." Ucap Juan. Zafran tersenyum dan mengangguk mengerti.
"Gue laper. Itu bunda yang masak beneran kan? Pasti enak."
Juan bangkit dan berjalan cepat menuju meja makan dan meninggalkan Zafran yang masih duduk di tempatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelita dan Pelabuhannya [END]
Fanfiction{FANFICTION} Jelita kabur dari rumahnya karena kemarahannya pada sang ibu. Gadis itu memilih menutup dirinya dari keramaian. Tak banyak bicara, dan tak pernah menunjukkan perubahan pada raut wajah datarnya. Suatu ketika ia dipertemukan dengan seoran...