20 : Sakit Tak Seburuk Itu

255 68 23
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

"Gue denger lo sakit bro." Juan berdiri di ambang pintu kamar Zafran. Membuat laki-laki yang tengah memainkan ponselnya itu lantas menoleh kemudian tersenyum.

"Gak kok."

"Hallah sok kuat lo. Tau-tau pingsan." Sahut Juan berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang Zafran. Sementara Zafran menanggapi ledekan temannya itu dengan seringaian.

"Lo kesini sendiri?"

"Lo mau gue kesini sama siapa emang?"

Zafran berdeham pelan dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Laki-laki itu enggan menjawab pertanyaan Juan dan hanya membuang muka. Disaat yang sama, netranya menangkap kehadiran sosok lain yang tengah mengintip dari balik pintu. Sosok yang membuat laki-laki itu kembali tersenyum.

Mengikuti arah pandang Zafran, Juan akhirnya menoleh dan mendapati adiknya yang terlihat ragu-ragu. Juan memutar mata malas dan memandang kedua orang itu bergantian.

"Kalo mau masuk ya masuk dek. Jangan maju mundur gitu. Uda kayak undur-undur aja kamu."

"Adek lo itu. Masa disamain ama undur-undur." Protes Zafran memukul pelan lengan Juan kemudian beralih menatap Jelita dan tersenyum simpul seraya berkata, "Masuk aja Jelita."

Jelita tersentak saat mendengar suara berat laki-laki itu menyapa pendengarannya. Ia tersenyum kikuk kemudian mengangguk dan berjalan masuk.

"Gimana keadaannya mas?"

"Uda mendingan." Sahut Zafran tersenyum sumringah. Melihat senyum laki-laki itu membuat Jelita merasa lega. Namun di satu sisi juga mampu membuat wajah Jelita bersemu merah.

Juan memandang keduanya dengan curiga. Tak nyaman dengan situasi aneh yang tengah menyelimuti saat ini, laki-laki itu pun berdeham keras. Sengaja, agar membuat dua orang yang sedari tadi hanya saling menatap itu menyadarinya. Bahwa masih ada Juan diantara mereka.

"Bisa copot mata lo lama-lama kalo liatin adek gue." Ucap Juan ketus membuat Zafran berdecak.

"Misi misi." Suara Jovan menginterupsi. Laki-laki itu berjalan masuk dengan nampan dalam genggamannya.

"Bawa apaan Jov?" Tanya Zafran mengerutkan keningnya bingung.

"Kamu masak?" Lanjut laki-laki itu yang Jovan jawab dengan gelengan.

"Ini mbak Jelita yang bawa. Sarapan dulu bang, mumpung masih anget." Ujar Jovan sembari meletakkan nampan yang dibawanya ke pangkuan Zafran.

"Ini yang kamu bikin kemaren Jelita?" Tanya Zafran yang kembali membuat Jelita mendapat lirikan tajam dari kakaknya. Dengan tersenyum kikuk, perempuan itu kemudian menjawab, "Nggak mas. Yang kemarin bau. Lupa gak di angetin. Ini bikin baru."

"Oh." Zafran mengangguk mengerti sembari mulai menyendokkan bubur buatan Jelita kemudian menyantapnya. Laki-laki itu kembali tersenyum dan melanjutkan, "Enak. Makasih ya Jelita."

Mendapat ucapan terima kasih serta pujian dari Zafran nyatanya membuat Jelita tak bisa bersikap biasa saja. Maka untuk menyembunyikan kegugupannya, perempuan itu hanya mengangguk. Namun perilaku Jelita saat ini tak luput dari perhatian Juan yang sejak tadi memang memusatkan perhatian pada adik perempuannya.

"Oh iya Zaf, sorry gue gak tau kalo lo sakit. Tau gitu gue gak nelfon lo kemaren."

"Gak apa bro. Cuma demam ini."

"Demam yang berujung pingsan kan bro?"

"Kakak." Tegur Jelita membuat Juan mendengus kesal. Perempuan itu kemudian kembali menatap Zafran. Merasa tak enak hati sekaligus bersalah.

"Maaf ya mas. Gara-gara aku mas Zafran jadi gini."

"Gak apa-apa kok Jelita. Yang penting kamu gak kenapa-kenapa." Sahut Zafran yang kembali menampilkan senyumannya. Jelita jadi sedikit ragu jika laki-laki itu benar-benar sakit. Maksudnya, mengapa Zafran banyak tersenyum hari ini?

"Kalo gitu gue cabut." Pamit Juan yang kini bangkit.

"Balik ke kota lo?"

"Iye. Ada kerjaan soalnya."

"Sama siapa?"

"Dianter Jelita ke halte."

"Naik ojek? Jarak dari sini ke halte kan lumayan jauh."

"Yakali naik ojek. Gue bawa mobil."

"Kalo lo bawa mobil kenapa pake minta anter segala?"

"Itu mobilnya Jelita. Gue kesini sekalian buat ngasih itu mobil sih." Sahut Juan seraya menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Mengundang decak kagum dari Jovan yang sejak tadi hanya diam menyimak.

"Yaudah gue balik dulu. Titip Jelita. Jangan biarin kalo ada yang berani godain adek gue." Ucap laki-laki itu sebelum beranjak pergi.

"Kalo gitu pamit juga mas, Jov." Pamit Jelita dan mengikuti langkah sang kakak.

*

"Bubur? Kamu masakin dia bubur?" Omel Juan saat Jelita mulai menjalankan mobilnya. Mengerti dengan arah pembicaraan kakaknya, bibir Jelita berkedut, berusaha menahan senyumnya.

"Bubur paling enak buatan kamu, kamu masakin buat orang lain?"

"Emang kenapa sih kak?"

"Gak ada yang boleh makan bubur itu selain kakak, Jelita!" Sahut Juan tak terima membuat Jelita seketika tertawa.

"Terus itu juga. Kenapa kamu masih panggil Zafran begitu?"

"Mas Zafran maksudnya?"

"Iya! Kakak kan uda bilang jangan manggil dia begitu."

"Ya mau panggil gimana dong? Kan mas Zafran emang lebih tua dari Jelita. Masa mau manggil nama? Kan gak sopan kak."

"Ya apa kek. Kan banyak panggilan selain itu."

Masih dengan aktifitasnya mengemudi, Jelita terlihat bepikir sejenak sebelum perempuan itu kembali bersuara, "Abang?"

Juan menoleh dan menatap adiknya tak mengerti. Sementara Jelita kembali melanjutkan, "Kan gak boleh manggil mas. Gimana kalo manggil abang aja? Abang Zafran. Jovan juga manggil gitu."

Mendengar penuturan Jelita sontak sepasang mata Juan melebar dan dengan cepat laki-laki itu pun menggeleng memberikan penolakan.

"Nggak! Panggil mas aja. Gak usah abang. Oke dek?" Sahut Juan yang membuat Jelita kembali tertawa. Perempuan itu pun mengangguk cepat dan mengakhiri perdebatan diantara mereka.

Sementara itu, Zafran yang baru saja menyelesaikan sarapannya kini hanya duduk bersandar pada bantal di ranjang nyamannya. Zafran banyak tersenyum sejak tadi. Bahkan Jovan beberapa kali menanyakan apakah ia baik-baik saja. Karena yang Zafran lakukan sedari tadi hanya tersenyum sendiri.

Zafran mengingatnya dengan jelas. Bagaimana genggaman tangan Jelita membuatnya terbangun semalam. Semerah apa wajah perempuan itu saat ia hanya diam menatapnya.

Awalnya laki-laki itu ragu bahwa apa yang dilihatnya semalam adalah kenyataan. Bisa saja jika ia hanya tengah bermimpi. Namun melihat bagaimana perempuan itu menjadi salah tingkah setiap kali tatapan mereka bertemu membuat Zafran yakin. Bahwa itu bukanlah mimpi. Jelita benar-benar ada bersamanya semalam.

Walau kembali kehilangan kesadarannya dan tak mengetahui apa yang terjadi setelahnya, hal itu sudah cukup. Fakta bahwa Jelita duduk di sampingnya dan mengkhawatirkannya membuat laki-laki itu bahagia bukan kepalang.

Sepertinya sakit tidak seburuk itu. Benar bukan, Zafran?

***

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang