41 : Jarak

182 48 8
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

Menahan kegelisahan yang menjalar di sekujur tubuhnya, sebisa mungkin Jelita coba tampakkan gurat ketenangan di wajahnya. Walau perempuan itu yakin jika ia sudah gagal melakukannya bahkan di detik pertama pertemuannya dengan Anggi.

Jika kalian bertanya siapakah pemilik nama orang yang kini duduk begitu angkuh di hadapannya, maka jawabannya hanya satu. Ia adalah orang di masa lalu yang berusaha kuat Jelita hapus keberadaannya dalam ingatan. Salah satu alasan terbesarnya meninggalkan kota kelahirannya. Ibu dari laki-laki yang pernah ia sukai. Sekaligus seorang istri yang suaminya di rebut oleh ibunya.

Ya. Wanita itu. Yang Jelita yakini masih menaruh dendam begitu besar pada keluarganya hanya melihat dari sorot mata yang begitu tajam menatapnya.

Jelita letakkan secangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk tepat di hadapan Anggi. Mencoba menyamankan posisi sebelum memusatkan pandangannya pada lawan bicara.

"A-apa kabar tante?" Tanya Jelita memecah keheningan di antara mereka. Lalu yang terdengar setelahnya adalah suara dengusan kuat yang sepertinya sengaja Anggi perdengarkan kepadanya.

Jelita kesusahan menelan salivanya. Kegelisahan itu masih begitu nyata terasa. Hingga membuat tubuhnya terasa kaku dan tiap persendiannya bagai diserang virus mematikan yang bisa menyiksanya saat itu juga.

Ada yang mengatakan jika hati manusia bisa begitu mudah berubah. Dan itu adalah sebuah fakta yang tidak perlu di ragukan lagi. Siapa yang menyangka? Jika Anggi yang dulunya begitu baik kepadanya, selalu menyambut kedatangannya dengan hangat dan memperlakukannya seperti anak sendiri, kini berubah jauh berbeda.

Wanita paruh baya di hadapannya tak lagi memandangnya dengan cara yang sama setelah kejadian saat itu. Pendar kehangatan yang dulu selalu ia tampilkan, kini tak lagi terlihat. Yang tampak justru tatapan dingin seolah siap menghujamnya dengan ratusan pisau yang akan menyayatnya hingga mati.

"Saya terlalu percaya diri. Saya pikir kamu akan hidup menderita. Sama seperti yang saya dan Leo alami. Ternyata kamu masih baik-baik aja. Bahkan masih bisa main cinta-cintaan rupanya."

Suara dingin tanpa jiwa itu menyapa indera pendengarannya setelah sekian lama. Menyakiti jiwa Jelita sedemikian parah. Baik-baik saja? Bahkan setelah bertahun-tahun ia mencoba melarikan diri? Apakah ia sudah terlihat baik-baik saja saat ini?

"Gimana kabar mama kamu? Masih suka godain suami orang?"

Lagi-lagi pertanyaan kejam yang terlontar itu terasa mengulitinya hidup-hidup. Namun Jelita tak bisa apa-apa selain diam dengan kepala tertunduk.

"Kok diem aja? Masih gak punya muka? Padahal kata Leo kamu uda bisa cengengesan. Terus sekarang kenapa diem aja kayak orang bisu?"

"T-tante-"

Kali ini Jelita kembali meneguhkan hati. Mengangkat kepala dan membalas tatapan Anggi yang masih sama seperti sebelumnya. Ia eratkan kaitan kesepuluh jarinya di atas pangkuan.

"Maafin Jelita tante. Maafin mama Jelita juga."

"Bukannya uda terlambat untuk minta maaf sekarang Jelita? Rumah tangga tante sudah terlanjur hancur loh. Mama kamu juga uda merusak hubungan antara ayah dan anaknya."

"Jelita tau uda gak ada gunanya buat minta maaf sama tante dan juga Leo. Jelita tau itu tapi Jelita masih mau minta maaf sama tante." Sahut Jelita dengan suaranya yang bergetar. Bulir bening yang sedari tadi mati-matian ia tahan pun kini luruh begitu saja membasahi pipi.

"Kamu tau apa yang papanya Leo katakan saat pertama kali dia meminta izin untuk poligami Jelita?" Tanya Anggi setelah wanita paruh baya itu terdiam cukup lama.

"Dia jatuh cinta dengan mama kamu dan setelah melihat kamu, mendadak dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kamu."

Tawa sumbang Anggi terdengar menggema di telinga Jelita. Raut angkuh yang semula terpatri di wajahnya kini berganti dengan kesedihan luar biasa. Sudah jelas jika luka itu masih menganga dan bernanah.

"Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk anak orang lain. Sedangkan dia sudah gagal menjadi ayah untuk anak kandungnya. Sangat konyol."

"Tante-"

"Diam kamu! Kamu gak ada bedanya dengan mama kamu! Apa tujuan kamu mendekati Tania hah?" Tuding Anggi kembali menatap Jelita tajam. Ia bangkit dari duduknya dan memandang Jelita sengit.

"Kamu mau kembali menjadi benalu di kehidupan orang lain Jelita? Mau mengikuti jalan ibu kamu hah?"

"Tante, gak gitu. Jelita sama mas Zafran-"

"Tania terlalu lembek sampe ngebiarin orang kayak kamu ada di sekitarnya. Padahal dia uda tau siapa kamu. Tapi bisa-bisa dia masih diem aja. Gak habis pikir saya."

Kali ini Jelita terdiam. Rentetan fakta yang baru saja di dengarnya kini seperti batu besar yang menghantam kepalanya cukup keras. Untuk sesaat, Jelita merasa kepalanya kosong. Tak ada lagi suara bising Anggi yang ia dengar.

Apa tadi katanya? Tania mengetahuinya? Ibu dari Jovan dan Zafran itu mengetahui semuanya? Tapi bagaimana bisa ia mengetahuinya? Ah ya, tentu saja ia mengetahuinya. Karena Anggi dan Tania adalah saudara. Dan mungkin saja wanita paruh baya itu pernah melihatnya sebelumnya.

Tapi bukan itu masalahnya. Fakta bahwa Tania mengetahui segala aib yang berusaha Jelita tutupi dari ibu Zafran itu kini mengganggunya. Mendadak Jelita kembali merasa kerdil. Merasa tak pantas untuk bahagia hanya dengan hidup bersama kekasihnya. Bagaimana bisa ia berkencan dengan laki-laki yang masih memiliki keterkaitan dengan masa lalunya?

"Kamu denger nggak sih saya bilang apa?!!" Suara Anggi yang mulai meninggi kembali menyadarkan Jelita dari segala pemikirannya.

"Tante maaf. Tapi bisa kita bicarain ini lain waktu?" Ucap Jelita yang kini turut bangkit.

"Apa? Lancang sekali kamu ya? Kamu ngusir saya?"

"Nggak gitu tante. Cuma-"

Jelita menggantung ucapannya saat merasakan nyeri yang kini menjalar di kepalanya. Ia tekan daerah pelipisnya untuk meredakan rasa sakitnya. Dan satu tamparan di pipi membuat rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.

"Perempuan gak tau diri. Ini yang mama kamu ajarkan hah? Jawab!"

Ketika Anggi hendak kembali melayangkan pukulannya, satu tangan menahan pergerakan wanita paruh baya itu.

"Apa-apaan kamu Jovan? Lepasin tangan tante!"

"Tante ngapain disini? Jangan bikin onar deh. Gak enak didenger tetangga." Ucap Jovan berusaha menjauhkan Anggi. Sementara di ambang pintu ada Zafran yang baru saja tiba dengan deru nafasnya yang tak beraturan.

"Lepasin tante! Jovan! Tante belum selesai ya. Lepasin!"

Suara teriakan Anggi terdengar semakin jauh karena Jovan menarik wanita paruh baya itu secara paksa. Meninggalkan Jelita dan Zafran yang kini masih terdiam di tempatnya.

"Jelita." Panggil Zafran pada akhirnya. Membuat perempuan itu seketika tersentak dan menyadari keberadaannya.

"Mas Zafran?"

"Iya aku disini sayang." Ucap laki-laki itu hendak mendekat. Namun satu langkah mundur yang Jelita perlihatkan seakan bagai alarm peringatan baginya. Dan Zafran pun mulai paham. Jika jarak yang semula telah berhasil ia kikis, kini kembali membentang jauh di antara mereka.

***

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang