Jangan lupa like + komen.
***
"Gue suka sama Jelita dan gue mau serius sama dia." Ucap Zafran dengan mantap.
Ada helaan nafas panjang yang terdengar menggema di ruangan yang tak begitu lebar itu. Juan sedikit mencondongkan tubuhnya dan menatap sang lawan bicara dengan begitu intens. Tatapan yang amat mengintimidasi jika itu adalah orang lain. Tapi ini Zafran. Laki-laki itu tak akan mundur hanya karena ancaman yang akan ia terima dari Juan yang sudah dikenalnya cukup lama.
"Yang lo deketin itu adek gue Zaf. Berani bener lo." Ucap Juan penuh penekanan. Namun Zafran masih terlihat tenang dengan anggukan kepala pertanda bahwa ia paham dengan apa yang Juan khawatirkan saat ini.
"Gue tau Ju. Gue tau." Ucap Zafran kembali mengangguk.
"Karena dia adek lo, gue juga pengen jagain dia. Tapi bukan sebagai seorang abang. Karena itu tugas lo. Biarin gue punya tugas lain sebagai orang yang akan selalu ada di pihak Jelita. Apapun yang terjadi." Lanjut laki-laki itu.
"Jangan Jelita Zaf. Jangan adek gue!" Ujar Juan lagi dengan intonasinya yang mulai meninggi.
"Kenapa?"
Tanggapan Zafran membuat Juan merasa terpancing. Laki-laki itu pun bangkit dan berjalan menghampiri Zafran. Sedikit membungkuk kemudian mencengkram kerah kemeja sahabatnya dengan cukup kuat.
"Karena mau lo temen gue atau bukan, sedikit aja lo bikin adek gue nangis, patah leher lo." Ancam laki-laki itu tegas. Tentu Zafran tau jika Juan tak main-main dengan ucapannya.
Zafran tersenyum simpul. Laki-laki itu masih bisa terlihat santai bahkan ketika sepasang mata dihadapannya berkabut dan siap menghabisinya kapan saja. Kedua tangan Zafran bergerak dan melepaskan cengkraman Juan kemudian menepuk pelan pundak sahabatnya itu.
"Lo bisa patahin bagian yang lainnya juga kalo itu terjadi Ju."
"Karena saat gue denger dia nangis, gue rasa gue juga bakal hancur." Lanjut Zafran melemah pada akhir kalimat.
"Se suka dan se peduli itu gue sama Jelita. Bahkan sejak awal ketemu sama dia, gue gak bisa nahan keinginan gue buat selalu ngejaga dia Ju. Gue serius. Perasaan gue gak main-main sama adek lo."
Juan terdiam. Menatap pada kedua mata Zafran yang kini berubah sendu. Juan tak menyukainya. Kenyataan bahwa laki-laki itu terlihat begitu tulus justru membuat Juan semakin khawatir. Bukan karena ia tak percaya dengan Zafran. Ia lebih mengkhawatirkan adiknya yang sepertinya sudah terlampau bergantung pada sosok sahabatnya.
Laki-laki itu menjadi takut. Tak ingin membayangkan akan sehancur apa Jelita jika pada akhirnya kenyataan kembali membuat ia patah. Juan hanya tak ingin Jelita kembali mengulang sejarah.
Helaan nafas kembali terdengar. Juan kembali berdiri seraya menyelipkan kedua tangan pada saku celananya. Saat ini ia akan menyerah untuk kembali berargumen. Namun bukan berarti ia kalah. Ia hanya akan mengawasi bagaimana keduanya akan memulai kisah.
"Gue pegang omongan lo."
"Thanks bro." Sahut Zafran yang kembali menyunggingkan senyumnya.
-
"Mas Zafran?"
Jelita mengerjapkan mata saat melihat sosok Zafran yang baru keluar dari mobil. Laki-laki itu tersenyum kearahnya seraya melambaikan tangan. Kemudian Jelita merapikan helaian rambut yang sedikit terlepas dari ikatannya saat melihat sosok itu berjalan mendekat.
"Kamu uda selesai kerja kan?" Tanya Zafran saat langkahnya berhenti tepat di hadapan Jelita.
"Iya. Tapi kenapa mas Zafran bisa ada disini?"
"Aku mau jemput kamu." Sahut laki-laki itu melemparkan senyum andalannya. Lagi. Jelita benci bagaimana senyuman Zafran mampu menciptakan rasa panas yang kemudian menjalar pada wajahnya.
"Ayo. Uda selesai kan?"
Jelita mengangguk singkat dan mengikuti langkah Zafran sebelum kemudian ia menyadari sesuatu. Dengan cepat, Jelita menahan pergelangan tangan Zafran hingga membuat laki-laki itu berbalik.
Menyadari arah tatapan Zafran, dengan segera Jelita melepas genggaman tangannya pada lengan jas yang Zafran kenakan.
"Mas Zafran tau dari mana tempat kerjaku?" Tanya Jelita bingung yang kemudian suara tawa Zafran yang ia dengar.
"Kamu lupa? Aku kan pernah anter kamu berangkat kerja." Ucapnya setelah tawanya mereda.
Malu. Jelita kembali bertingkah konyol di hadapan Zafran. Bagaimana bisa ia melupakan fakta itu? Hanya karena jantungnya serasa ingin lompat dari tempatnya, bukan berarti ia juga harus membenamkan diri pada lembah bernama aib bukan?
Jelita menarik senyum kaku yang sayangnya terlihat bodoh. Perempuan itu hanya mengangguk pelan dan enggan untuk kembali bersuara.
"Ayo."
Jelita kembali menoleh dan mendapati Zafran sudah berdiri di samping mobilnya dan membukakan pintu untuk perempuan itu. Akhirnya Jelita melanjutkan langkahnya dan berjalan memasuki mobil milik Zafran.
"Harusnya mas Zafran gak perlu repot jemput aku." Ujar Jelita ketika laki-laki itu mulai menancap pedal gas. Zafran melirik sekilas sebelum kembali memusatkan pandangan pada kondisi jalanan.
"Kita kan partner kencan. Kalo cuma jemput begini, bukannya wajar?" Sahut laki-laki itu yang membuat wajah Jelita kembali merona. Disentuhkan kedua sisi wajah perempuan itu dengan telapak tangan. Hanya untuk membuat suhunya kembali normal.
"Sebelum pulang makan dulu yuk."
Ajakan Zafran kembali menyadarkan Jelita dari lamunannya. Perempuan itu pun menoleh dan menunggu kalimat lanjutan yang akan Zafran ucapkan.
"Di sekitar sini ada ayam geprek enak. Kata Juan kamu suka ayam geprek. Gimana?"
"Boleh mas." Sahut Jelita yang membuat Zafran kembali tersenyum.
"Oke." Seru laki-laki itu bersemangat seraya mengarahkan setir di genggamannya.
-
Jelita tak berhenti tersenyum, berusaha menahan tawanya agar tak meledak saat melihat bagaimana bulir bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata laki-laki di hadapannya.
Zafran saat ini tengah menangis. Tidak, bukan karena laki-laki itu tengah bersedih. Melainkan karena lidahnya yang terasa kebas karena pedasnya ayam geprek yang tengah ia nikmati.
"Mas." Panggil Jelita sungkan. Laki-laki itu pun menoleh dan menatap pada Jelita yang tengah menyodorkan tisu untuknya. Tanpa bisa berkata-kata, Zafran menerima tisu tersebut dan menyeka air matanya yang berderai.
"Mas Zafran gak bisa makan pedes?"
Lagi. Tanpa berucap, laki-laki itu hanya mengangguk saja sembari meneguk habis minumannya. Ini adalah gelas es teh keduanya.
"Trus kenapa mesen ayam geprek? Kan ada menu lain."
"Karena kamu suka hahh huhh.." Sahut Zafran berusaha mengatur nafasnya.
Jelita terdiam dan hanya menatap bagaimana laki-laki itu melanjutkan menyantap makanannya bahkan ketika wajahnya sudah memerah karena kepedasan.
Merasa tak tega, perempuan itu menahan pergerakan tangan Zafran yang hendak kembali memasukkan potongan ayam yang penuh akan biji cabai itu ke dalam mulutnya.
"Gak usah di makan mas. Nanti sakit perut."
"Iya ya." Sahut Zafran yang segera menyetujui perkataan Jelita. Laki-laki itu meletakkan kembali makanannya dan menyendok sepotong es batu kemudian ia masukkan ke dalam mulut. Mencoba mencari kesegaran disana.
Jelita kembali tersenyum. Melihat bagaimana hal-hal kecil yang Zafran lakukan untuk menyenangkannya sudah cukup untuk membuat Jelita melabuhkan hati pada laki-laki pemilik lesung pipi itu.
Jelita jatuh cinta. Sekali lagi pada orang berbeda. Secepat itu kah?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelita dan Pelabuhannya [END]
Fanfiction{FANFICTION} Jelita kabur dari rumahnya karena kemarahannya pada sang ibu. Gadis itu memilih menutup dirinya dari keramaian. Tak banyak bicara, dan tak pernah menunjukkan perubahan pada raut wajah datarnya. Suatu ketika ia dipertemukan dengan seoran...