12 : Kakak Protektif

245 64 19
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

Zafran membereskan meja ruang tamu rumahnya. Meletakkan cangkir minum bekas Jelita tadi dan bersiap untuk membersihkannya. Hingga suara ketukan pintu membuat langkah laki-laki itu terhenti. Zafran meletakkan kembali nampan yang dibawanya ke atas meja dan bergegas menuju pintu rumah kemudian membukanya.

"Samlekom." Ucap Jovan dengan cengirannya.

"Salam tuh yang bener." Tegur Zafran yang kini kembali dengan nampan di tangannya.

"Assalamualaikum ya akhi Zafran Abrisam Baraq. Ana uhibbuka."

Zafran menghela nafas pelan seraya berbalik menatap adiknya malas. Sementara laki-laki itu menampilkan senyum tak berdosanya dengan menunjukkan simbol hati menggunakan jarinya.

"Ada tamu bang?" Tanya Jovan yang baru menyadari cangkir minuman yang dibawa Zafran.

"Oh ini. Tadi Jelita mampir kesini."

"APA?? MBAK JELITA??" Pekik Jovan terkejut.

"Kok abang gak bilang-bilang sih?"

"Ya lagian kalo abang bilang kamu mau ngapain? Mau langsung pulang?" Sahut Zafran berjalan menuju dapur dan Jovan mengekori langkahnya dari belakang.

"Oh iya, kapan hari dia juga kesini cari kamu."

"APA?? JADI MBAK JELITA GAK CUMA SEKALI KESINI? JADI BERDUAAN DOANG SAMA ABANG GITU??" Teriak Jovan tak terima. Sementara Zafran dengan santainya hanya mengangguk membenarkan.

"Dia bawain kesemek. Kamu suka kesemek, katanya." Ujar Zafran menekankan kata terakhir dalam kalimatnya.

"Kesemeknya ada di kulkas. Makan gih. Kan katanya kamu suka banget sama kesemek."Ucap Zafran lagi melanjutkan. Menggoda adik laki-lakinya yang kini mendengus kesal.

"Uda ah Jovan mau tidur."

"Loh mau kemana? Kesemeknya gak mau dimakan? Kasian loh ama mbak Jelitamu itu. Sampe bela-belain bawa kesemek yang katanya kamu suka." Ledek Zafran setengah berteriak hanya agar Jovan mendengarnya. Karena laki-laki itu sudah berlalu menuju kamarnya.

*

Jelita menutup pintu kamar setelah sebelumnya telah memastikan pagar dan pintu rumahnya terkunci rapat. Perempuan itu kemudian berjalan dan duduk di tepi ranjang. Hendak mengistirahatkan tubuhnya sebelum sebuah pesan masuk menginterupsi kegiatannya.

Pada layar benda elektronik miliknya yang kini menyala, tertera nama Zafran disana. Jelita menggigit bibir bawahnya saat membaca nama itu.

'Selamat tidur Jelita.'

Begitulah bunyi pesan singkat yang Zafran kirimkan untuknya. Melukiskan semburat merah muda di wajah perempuan itu. Entah sudah sejak kapan seperti ini. Tetapi Jelita baru menyadarinya. Betapa ritme jantungnya berdetak tidak normal setiap kali ia membaca pesan-pesan dari Zafran.

Sebelum sempat Jelita membalas pesan tersebut, sebuah panggilan masuk dari Juan membuat perempuan itu mengurungkan niatnya. Ah benar, Jelita melupakan tujuan awalnya berlari ke rumah Zafran sore tadi. Tanpa menunggu lama, perempuan itu menjawab panggilan kakaknya.

"Kamu belum tidur?"

Suara Juan langsung menyapa indera pendengarannya tak lama setelah Jelita menjawabnya. Membuat seulas senyum manis terlukis di wajah perempuan itu tanpa peringatan.

"Belum." Sahut Jelita singkat hingga suasana kembali hening.

"Jel."

"Kak."

Panggilan keduanya secara bersamaan membuat mereka kembali terdiam. Jelita berdeham pelan mencoba menormalkan nada bicaranya.

"Kakak duluan."

"Nggak. Kamu aja yang duluan."

"Oke." Sahut Jelita menyetujui. "Maaf." Lanjut Jelita setelahnya. Sementara Juan yang berada di seberang sana mengernyitkan kening bingung.

"Maaf untuk?"

"Jelita egois. Padahal kak Juan gak salah apa-apa. Tapi Jelita juga ikut diemin kakak. Maafin Jelita." Ucap Jelita tak menyadari jika bulir bening itu mulai membasahi wajahnya disertai dengan isak tangis yang lantang terdengar.

"Kamu kenapa? Kakak kesana sekarang ya?"

"Nggak nggak nggak." Tolak Jelita menggeleng cepat walau Juan tak dapat melihatnya.

"Jangan kesini, uda malem. Bahaya." Lanjutnya seraya menghapus air mata di wajah.

"Tapi-"

"Aku nggak apa-apa kak."

"Jelita."

"Aku cuma butuh waktu."

"Bukannya satu tahun uda cukup dek?" Sahut Juan menyuarakan keberatannya.

"Kamu uda nggak ketemu mama satu tahun."

"Cuma karena aku mau ngomong sama kakak, bukan berarti aku uda nggak marah sama mama. Mama sama kak Juan jelas beda." Sahut Jelita tegas.

Juan terdengar menghela nafas panjang. Tak lama, laki-laki itu kembali berucap, "Oke."

"Kakak kasih kamu waktu lagi. Sebulan? Dua bulan? Setahun? Gak masalah. Tapi jangan kabur lagi. Kamu jadi tetangga Zafran aja ya? Jangan kemana-mana."

"Kak Juan mau mata-matain aku lewat mas Zafran?"

"Nggak gitu!" Bantah Juan seakan khawatir perempuan itu akan salah paham padanya. Padahal Jelita hanya sedang menggodanya.

"Seenggaknya kakak tenang ada yang jagain kamu selama kakak gak ada disamping kamu. Kakak kenal dan percaya sama Zafran. Dia nggak akan ngapa-ngapain kamu."

"Jelita tau. Mas Zafran memang sebaik itu."

"Tunggu dulu. Kenapa kamu manggil dia gitu?"

"Gitu gimana? Mas Zafran?"

"Iya! Kenapa kamu manggil dia mas?"

"Mas Zafran yang minta." Sahut Jelita polos.

"Itu anak bener-bener bisaan banget modusnya!"

Jelita tak mampu menyembunyikan senyumnya lagi. Sudah lama rasanya ia tak melihat sifat protektif kakaknya.

"Pokoknya kamu gak boleh manggil dia begitu ya Jel."

"Loh emang kenapa? Mas Zafran kan lebih tua dari aku. Seumuran kak Juan kan?"

"Iya emang seumuran kakak. Tapi tetep aja gak boleh."

"Ya kenapa sih?"

"Pokoknya gak boleh! Kakak bilang nggak ya nggak Jelita." Sahut Juan tak terima membuat Jelita tertawa terbahak-bahak karenanya.

"Kok malah ketawa sih kamu?"

"Uda ah Jelita mau tidur. Ngeladenin kakak bisa sampe subuh."

"Iya istirahat. Jangan capek-capek."

"Kak."

"Hm?"

"Love you."

"More."

Jelita kembali tersenyum kemudian mengakhiri panggilannya dan tampilan selanjutnya yang ia lihat adalah pesan Zafran yang belum sempat terbalas. Perempuan itu kemudian mengetikkan balasannya yang sempat tertunda.

'Selamat tidur juga mas Zafran.'

Begitu balasan yang Jelita kirimkan dan langsung terbaca oleh sang penerima pesan.

***

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang