32 : Enak

217 49 13
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

"Dek."

"Aku mau mandi. Mau siap-siap buat berangkat kerja. Aku gak bikin sarapan jadi kakak makan di luar aja." Ucap Jelita menyanggah ucapan Juan dan berlalu begitu saja.

Laki-laki itu menghela nafas panjang. Juan sudah menduga mengenai reaksi yang akan adiknya berikan. Maka yang bisa ia lakukan hanya berdiri di tempatnya dan menatap punggung Jelita yang menghilang di balik pintu.

"Emosian amat. Anak siapa sih." Gumam Juan kemudian mengikuti langkah adiknya memasuki rumah.

Setibanya di dalam rumah, Juan mendapati pintu kamar Jelita sudah tertutup rapat. Yang artinya perempuan itu benar-benar bersiap untuk berangkat kerja.

Ketika Juan sudah nyaman merebahkan tubuh besarnya di atas sofa, di saat yang sama ponselnya berdering. Dengan malas laki-laki itu meraih benda elektronik tersebut dari dalam saku celananya. Dengan segera Juan menerima panggilan yang berasal dari ibunya.

"Halo ma." Sapa laki-laki itu hangat dengan senyum yang tak lupa terukir di bibirnya. Tak lama ia menggeleng pelan menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya dari seberang telfon. Padahal jelas, Lola tak bisa melihat gelengan putera sulungnya.

"Tunggu dikit lagi ya ma? Juan yakin bentar lagi Jelita bakal luluh sendiri kok."

"......"

"Iya. Ini mau makan. Mama juga jangan lupa minum obatnya. Nanti sore Juan pulang ya ma."

"......"

"Love you ma."

Begitulah panggilan itu berakhir dengan ungkapan cinta dari keduanya. Kemudian, pandangannya tertuju pada pintu kamar Jelita yang kini terbuka. Rupanya perempuan itu sudah selesai dengan ritualnya. Melirik adiknya sekilas, Juan memilih untuk mengabaikannya dengan bermain game pada ponselnya.

"Mama sakit?" Tanya Jelita dengan suara kecil.

"Hm." Sahut Juan singkat.

"Sakit apa?"

"Biasa."

"Biasanya tuh apa?" Sahut Jelita mulai sewot.

Berdecak pelan, Juan kembali melirik adiknya sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.

"Tanya langsung ke mama kan bisa."

"Kak."

"Apalagi sih dek?" Sanggah Juan beralih menatap Jelita.

"Kamu gak mau kakak bahas soal mama kan? Ok gak akan kakak bahas lagi. Jadi ya udah gak usah nanya-nanya soal mama ke kakak. Bukannya emang itu yang kamu mau? Beres kan?"

"Pulang sana!" Sungut Jelita sembari melemparkan handuk basah yang sedari tadi menggantung di lehernya pada Juan.

Dengan menghentakkan kakinya kesal, perempuan itu berjalan kembali menuju kamar dan menutup kasar pintunya hingga menghasilkan suara debam yang cukup nyaring. Membuat Juan berjenggit kaget karenanya.

"Pa, adek nakal." Adu Juan bermonolog. Ia mengusap kasar wajahnya dan menghembuskan nafas panjang. Cukup frustasi menghadapi kedua kubu yang seakan tak pernah mengakhiri perang dingin yang telah berlangsung lama.

-

"Mas Zafran?"

Jelita dikejutkan dengan kehadiran Zafran yang entah sudah sejak kapan berada di lobi kantornya.

Mendengar panggilannya, Zafran segera berbalik. Senyumnya kontan merekah saat mendapati kehadiran Jelita yang hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.

Sembari memasukkan ponselnya ke dalan saku jas, ia melambaikan tangan kemudian berjalan mendekat hingga kini berada tepat di hadapan Jelita.

"Mas Zafran ngapain disini?"

"Jemput kamu." Sahut laki-laki itu cepat yang seketika menghasilkan rona merah pada wajah Jelita.

"Jemput aku?" Ulang perempuan itu dan Zafran kembali menjawabnya dengan anggukan.

"Iya. Boleh kan aku jemput kamu?" Tanya Zafran sedangkan Jelita hanya diam. Perempuan itu terlihat berusaha mencerna kejadian yang dialaminya saat ini.

Sadar dengan tatapan bingung Jelita, Zafran kembali menambahkan, "Kita pacaran Jelita, ingat? Dan ini hal yang wajar dilakukan oleh pasangan kekasih."

"Oh.." Sahut Jelita singkat dengan wajahnya yang semakin memerah.
Menggigit bibir bawahnya, Jelita mengeratkan genggaman pada tali tas yang ia sampirkan di punggung.

"Ayo." Ajak Zafran mengulurkan tangan. Untuk yang satu ini, Jelita sudah paham. Perempuan itu tersenyum juga akhirnya. Menerima uluran tangan Zafran dan menggenggamnya erat. Laki-laki itu kembali tersenyum.

Melangkah beriringan, keduanya berjalan keluar dari kantor tempat Jelita bekerja.

"Mobilnya aku parkir agak jauh. Karena kantormu gak ada parkiran khusus mobil dan tadi juga agak rame. Jadinya aku parkir agak jauh trus lari kesini deh." Ujar Zafran menjelaskan panjang lebar. Sementara Jelita mengerutkan keningnya bingung.

"Kenapa mas Zafran lari?"

"Iya biar nutut ketemu kamu." Sahut Zafran sembari melirik Jelita sekilas. Laki-laki itu tak sedikitpun melunturkan senyumnya.

"Takut keburu kamu pulang kalo aku gak cepet-cepet sampe kantormu. Sedangkan jarak mobilku sama kantormu cukup jauh." Sahutnya lagi.

"Oh iya, kamu gak apa-apa jalan? Eh nggak deh. Kamu tunggu disini aja ya? Biar aku ambil mobilku dulu." Ucap Zafran yang seketika menjadi panik. Namun ketika ia hendak melepas genggaman tangannya, Jelita telah lebih dulu menahan laki-laki itu.

Menatap Jelita bingung, Zafran bertanya, "Kenapa?"

Bukannya menjawab, Jelita hanya tersenyum dan menggeleng pelan.

"Jelita?"

"Kita kesana bareng mas."

"Jaraknya lumayan jauh Jelita. Uda kamu disini aja. Biar aku yang kesana. Gak lama kok. Mungkin sekitar sepuluh menit?"

"Gak apa-apa kok mas. Kita jalan bareng-bareng."

"Tapi-"

"Aku suka kok." Putus perempuan itu membuat Zafran kembali menatapnya heran.

Jelita mengangkat tinggi tangannya yang berada dalam genggaman Zafran. Memperlihatkannya pada laki-laki itu dengan wajahnya yang terlihat bangga.

"Jalan-jalan sepuluh menit sambil pegangan tangan. Aku suka melakukannya sama kamu mas."

Wajah Zafran seketika berubah cerah. Memahami makna dari perkataan Jelita, laki-laki itu kembali tersenyum. Kini ia mengerti maksud dari penolakan Jelita. Rupanya perempuan itu sedang memulai pergerakan dalam hubungan mereka.

Baiklah. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Zafran pun mengangguk menyetujui. Ia eratkan kembali pegangan tangannya dan menuntun langkah Jelita bersamanya.

"Enak ya punya pacar." Ucap Zafran diselingi dengan tawanya. Membuat Jelita tersenyum malu-malu sembari menutup wajah dengan satu tangannya yang bebas. Berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus.

Zafran benar. Perkataan laki-laki itu tidak salah. Memiliki orang lain yang dapat diandalkan, pada nyatanya merupakan hal yang sangat Jelita syukuri saat ini.

***

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang