19 : Beneran Sakit

261 60 12
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

Jelita mengusap peluh yang membasahi kening dan leher Zafran dengan handuk kecil. Kemudian mengompresnya dengan air hangat yang ia letakkan di kening laki-laki itu. Ia melakukannya beberapa kali di sela waktunya menunggu kepulangan Jovan.

Zafran masih terlelap dan sesekali terdengar racauan yang keluar dari bibirnya. Sepertinya ia tengah mengigau. Jelita masih berada pada tempatnya. Tak ingin beranjak walau niat awalnya hanya melihat sebentar untuk memastikan jika Zafran benar baik-baik saja.

Perlahan jemari lentik itu bergerak dan menyentuh punggung tangan Zafran yang berada tepat di samping tubuh laki-laki itu. Mengusapnya perlahan hingga usapan itu berubah menjadi genggaman.

Sepasang mata milik Jelita melebar saat merasakan tangan besar Zafran membalas genggaman tangannya lemah. Mati-matian Jelita berusaha menelan salivanya. Perempuan itu beralih menatap Zafran yang kini mulai membuka mata. Laki-laki itu hanya diam dan menatap lurus pada langit-langit kamarnya. Seolah tak menyadari kehadiran Jelita.

"Mas Zafran." Panggil Jelita sembari melepas genggaman tangannya. Perlahan pandangan laki-laki itu beralih. Zafran menoleh dan menatap Jelita dengan tatapan sayunya.

Zafran menatapnya intens tanpa berucap satu kata pun. Membuat suasana terasa canggung setidaknya bagi Jelita. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, terdengar helaan nafas panjang sebelum laki-laki itu kembali memejamkan mata.

"Mas?" Panggil Jelita lagi dan tak ada respon apapun yang ia dapatkan.

Jelita menghela nafas panjang. Apakah laki-laki itu tau jika Jelita menggenggam tangannya? Jika ya, bagaimana Jelita dapat menyikapinya? Mau ditaruh dimana wajah perempuan itu nantinya?

Jelita berdecak pelan seraya bangkit dari duduknya. Perempuan itu kemudian berjalan cepat keluar dari kamar Zafran. Tepat di depan pintu keluar, Jelita berpapasan dengan Jovan yang baru saja tiba.

"Maaf mbak, Jovan kelamaan ya? Tadi nasi gorengnya antri." Ucap Jovan sementara Jelita membalasnya dengan senyum canggung.

"Ayo mbak kita makan bareng. Bentar Jovan ambilin piring sama sendok dulu."

"G-gak usah Jov!" Tolak Jelita membuat langkah Jovan terhenti. Laki-laki itu segera berbalik dan menatap Jelita heran.

"Mbak mau pulang aja."

"Loh pulang mbak? Gak jadi nginep?"

"Nggak. Mbak pulang aja. Mbak lupa belum siram taneman sama ngidupin lampu rumah. Jadi mbak pulang aja."

"Tapi ini uda malem loh mbak. Uda jam sebelas tuh." Sahut Jovan menunjuk pada jam dinding di sebelahnya.

"Gak apa-apa Jov. Rumah mbak kan deket. Lagian disini kan aman jadi gak masalah."

"Yaudah Jovan anterin."

"Gak usah kamu disini aja. Takut mas Zafran bangun dan butuh sesuatu."

"Tapi mbak-"

"Mbak pulang ya."

"Tunggu mbak." Panggil Jovan lagi hingga Jelita berbalik. Laki-laki itu mengeluarkan satu bungkus nasi miliknya dan menyerahkan kantung kresek berisi satu bungkus lainnya pada Jelita.

"Ini buat makan malam mbak Jelita. Mbak belum makan kan?"

Jelita tersenyum tipis dan menerima pemberian Jovan. Perempuan itu pun menjawab, "Makasih ya Jov. Kalo gitu mbak pulang dulu. Kabari lagi kalo mas Zafran uda bangun."

"Siap mbak." Sahut Jovan sembari meletakkan satu tangannya di pelipis memberi tanda hormat. Jelita kembali tersenyum dan bergegas pergi dari sana.

"Buru-buru banget sih mbak. Eh tapi perasaan tadi gue lewat rumah mbak Jelita lampunya idup kok. Trus bukannya dia nyiram taneman pagi doang ya? Btw muka mbak Jelita kok merah? Apa dia sakit juga karena keujanan?" Gumam laki-laki itu bermonolog.

*

Jelita tak henti-hentinya merutuki tindakannya beberapa saat lalu. Perempuan itu menghentak-hentakkan kakinya di jalanan yang ia lewati. Jalanan rumahnya memang bisa dikatakan cukup sepi jika diatas pukul sepuluh malam. Maka Jelita tak perlu khawatir ada seseorang yang melihat perilakunya saat ini.

Langkah Jelita terhenti hanya beberapa langkah sebelum sampai rumahnya. Perempuan itu terdiam saat menyadari sosok laki-laki yang kini berdiri membelakanginya.

"Kak Juan.." Panggil perempuan itu ragu. Sesaat setelahnya, sosok itu pun berbalik dan berjalan cepat kearahnya kemudian memeluk Jelita erat. Juan menghela nafas panjang dan mengusap lembut kepala adiknya.

"Syukurlah kamu gak kemana-mana. Makasih ya dek. Makasih banget." Bisik Juan tepat di telinga Jelita. Dapat perempuan itu dengar suara detak jantung Juan yang berpacu begitu cepat.

Seulas senyuman melukis di wajah perempuan itu. Perlahan Jelita membalas pelukan Juan dan mengusap punggung lebar kakaknya.

"Masuk dulu kak. Disini dingin."

"Oh iya! Yaudah ayo masuk. Kakak juga kedinginan." Sahut Juan melepas pelukannya dan merapatkan jaket yang ia kenakan. Jelita tertawa melihat perubahan perilaku kakaknya yang drastis. Perempuan itu kemudian membuka pintu pagar dan mempersilahkan Juan untuk masuk.

*

"Sumpah Jel, kakak gak ada ngasih tau mama kalo kamu tinggal disini." Ucap Juan berusaha meyakinkan Jelita. Entah sudah kesekian kalinya sejak laki-laki itu masuk ke dalam rumah.

Jelita meletakkan segelas kopi panas yang dibawanya ke atas meja kemudian duduk di samping sang kakak.

"Terus kenapa mama bisa tau?"

"Tante Fio keceplosan bilang kalo dia ketemu kamu. Terus ya kamu kan tau kalo mama ahli ngorek informasi." Sahut Juan kembali menjelaskan sementara Jelita menghela nafas pelan.

"Pokoknya bukan kakak yang cepuin ke mama. Jadi please, kamu jangan kabur lagi ya dek? Susah nyarinya soalnya."

"Kalo aku gak kabur mama bakal dateng terus."

"Ya kamu tinggal jangan bukain pintu aja kalo gitu." Sahut Juan dengan entengnya membuatnya dihadiahi pelototan oleh Jelita.

"Pokoknya jangan kabur ya dek? Kakak janji mama gak akan dateng lagi tanpa izin kamu. Kakak gak bisa selalu ada bareng Jelita. Kalo kejadian kayak gini kejadian lagi, kakak bingung harus gimana. Kita beda kota dan cuma Zafran yang bisa kakak mintain tolong. Iya tadi pas dia gak sibuk. Coba kalo sibuk? Bisa arrghh" Perkataan Juan terhenti saat Jelita mencubit lengan laki-laki itu.

"Kok nyubit sih?"

"Jadi kakak yang ngasih tau mas Zafran?"

"Iya. Buat nyariin kamu."

"Kakak ih!"

Juan kembali mengaduh saat Jelita memukul punggungnya. "Kenapa sih dek?"

"Mas Zafran tuh lagi sakit. Dan kakak bikin orang sakit ujan-ujanan buat nyariin aku? Lagian aku tuh gak kemana-mana. Aku cuma bantu-bantu di rumah bu RT!" Seru Jelita kesal sementara Juan menatapnya terkejut.

"Zafran sakit?"

"Iya!"

"Lah bisa sakit juga itu anak.."

"Kakak!"

"Ya mana kakak tau kalo dia sakit. Lagian siapa suruh ujan-ujan coba? Ada benda yang namanya payung sama jas ujan loh. Uda kayak film India aja." Sahut Juan masih santai sebelum kemudian menyeringai saat melihat raut wajah tak bersahabat adiknya. Laki-laki itu kemudian bangkit.

"Mau kemana?" Tanya Jelita ketus.

"Mau ke Zafran."

"Mau ngapain?"

"Ya jenguk lah. Gini-gini dia sohib kakak."

"Ya jangan sekarang juga. Mas Zafran lagi istirahat sekarang. Tadi tuh dia pingsan."

"Hah? Pingsan?" Seolah tak percaya, Juan kembali duduk dan menatap Jelita serius. Sementara Jelita mengangguk membenarkan.

"Wah beneran sakit ternyata.." Gumam Juan yang masih dapat Jelita dengar hingga membuat laki-laki itu kembali mengaduh saat Jelita melayangkan cubitannya.

***

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang