43 : Papa Zafran

173 53 10
                                    

Jangan lupa like + komen.

***

"Apa ini yang papa ajarkan ke kamu Zafran? Meninggikan nada bicaramu dan berbicara kasar sama orang yang lebih tua?"

Intonasi suara Harianto terdengar tenang namun juga lugas. Membuat kedua puteranya terdiam tak bernyali untuk menginterupsi. Pria paruh baya itu memang selalu memiliki aura pemimpin yang begitu luar biasa. Ia ditakuti tanpa perlu berusaha lebih.

"Atau ini yang kamu pelajari selama bersekolah dan menuntut ilmu? Kalo memang begitu, papa akan datangi dan menuntut mereka karena gagal mendidik kamu."

Zafran masih memilih diam. Meski rasa panas yang membakar pipi bekas tamparan ayahnya itu mulai terasa perih. Ia sadar betul jika sudah bertindak sedikit di luar batasan dimana ia boleh bertindak. Maka laki-laki itu pun tak akan membela diri kali ini.

"Kenapa kamu cuma diam? Jawab Zafran. Siapa yang sudah mengajari kamu tata krama buruk seperti itu? Agar ada pihak lain yang dapat papa salahkan selain kamu."

"Mas." Kali ini Tania berjalan mendekat. Wanita paruh baya yang sejak tadi hanya terdiam karena terkejut dengan situasi saat ini memilih untuk menengahi.

"Ini uda malam. Gak enak di dengar tetangga."

"Kamu juga Tania. Kamu terlalu memanjakan anak-anak sampai mereka berpikir dapat melakukan apa saja semau mereka." Potong Harianto melirik sang istri.

"Katakan Zafran. Atas dasar apa kamu bisa melakukan hal rendahan seperti ini?"

Pria paruh baya itu kembali beralih menatap putera sulungnya.

"Apa karena perempuan itu?"

Perkataan Harianto berhasil membuat Zafran bereaksi. Ia mendongak menatap ayahnya lama.

"Ternyata karena perempuan itu? Dia yang membuat kamu jadi kurang ajar seperti ini?"

"Nggak pa. Jelita gak salah apa-apa. Kenapa papa jadi menyalahkan orang lain?"

Kerutan di kening Harianto tampil segaris. Ini adalah kali pertama Zafran berani membantah perkataannya.

"Tindakan kamu barusan memperlihatkan sebaliknya nak."

"Pa, mas Zafran gak salah. Tante Anggi tuh yang-"

"Anter tantemu pulang Jovan. Jangan ikut campur dalam permasalahan ini."

Titah Harianto adalah hal yang mutlak. Dan tak ada yang cukup bernyali untuk menunda-nunda keputusannya. Maka yang Jovan lakukan selanjutnya hanyalah mengangguk pasrah.

"Ayo tante. Jovan anter pulang."

"Gak usah repot-repot Jov. Kan rumah tante sama orang tua kamu searah. Tante bisa nebeng-"

"Kami tidak pulang hari ini Anggi. Kami akan menginap hari ini. Ada hal yang harus kami selesaikan. Karena seseorang." Potong Harianto cepat.

"Kamu hanya punya dua pilihan. Pulang dengan diantar Jovan, atau naik taksi. Tidak ada tempat untuk kamu bermalam disini." Lanjut pria paruh baya itu membuat Anggi mendelik tak terima. Saat ia hendak melayangkan protesnya, Tania menghadang langkahnya. Memberi isyarat pada sang adik untuk segera pergi.

Jelita dan Pelabuhannya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang