AGAIN-22

194 45 13
                                    

Sampai siang, Diara masih mengenakan syal. Setiap ada karyawan yang berpapasan dengan pasti menatapnya lebih lama. Sedangkan Diara, tidak mau mengambil pusing.

Diara berjalan tanpa ekspresi menuju basement. Petto mengajak makan bersama meski dia enggan. Namun, lelaki itu memiliki strategi lain dengan menghampiri ke ruangan. Akibatnya, Bu Sesha dan Prita tahu. Diara terpaksa menemui daripada orang-orang banyak tanya jika tahu dia tidak menemui Petto.

"Ra!"

Langkah Diara seketika terhenti. Dia menoleh ke kiri dan melihat Petto berdiri beberapa langkah darinya. Refleks dia mengedarkan pandang.

Petto mendekat dan berdiri di depan Diara. "Ayo!" Dia menarik tangan Diara, tapi segera ditepis. "Ya udah, jalan bareng."

Diara lanjut berjalan dengan kepala tertunduk. "Mau ngomong apa?"

"Nanti aja di tempat makan."

"Gue nggak makan."

Petto tidak menjawab. Dia membukakan pintu untuk Diara lalu masuk ke bangku kemudi. Saat akan menyalakan mesin, dia menatap Diara. Sedangkan wanita itu menatap depan dengan pandangan menerawang. "Apa ngobrol di sini aja?"

"Ya. Lo yang pengen ngomong, kan?"

"Ra!" Petto menggaruk kepala frustrasi. "Masih marah soal kemarin?"

Diara menatap Petto. "Lo bisa lupain kejadian itu gitu aja?"

"Gue tetep inget!"

"Tapi, ekspresi lo kayak enggak!"

Petto mengusap wajah. "Kita di kantor, Ra! Nggak mungkin gue nunjukin semuanya. Nggak kayak lo!"

Kalimat terakhir Petto menyentil hati Diara. Wajah Diara seketika terasa panas dan matanya berkabut. "Jadi salah gue?"

"Kali ini, iya!" jawab Petto. "Lo ngapain pakai syal, ekspresi murung. Bikin karyawan lain jadi curiga."

"Gue nggak enak badan."

"Orang nggak enak badan nggak segitunya!"

Diara menghela napas lelah. Perlahan dia melepas syal dan melipatnya begitu saja. "Kayak gini?"

Petto melirik ke leher Diara. Bersyukur tidak ada tanda merah atau apapun. Setelah itu dia menatap sorot mata Diara yang masih berbeda. "Coba lebih ceria."

"Hmm...." Diara memaksakan senyuman, tapi tidak sampai ke mata.

"Coba lebih ceria lagi."

"Hahaha...."

Satu alis Petto terangkat mendapati Diara tertawa sumbang. Dia menatap depan dan memukul kemudi. "Nggak bisa dipaksa."

"Emang nggak bisa," jawab Diara lelah. "Pikiran buruk terus muncul di kepala gue. Masa gue happy-happy padahal lagi khawatir?"

"Tapi, nggak segitunya, Ra!"

"Gue nggak bisa pura-pura."

"Cuma sampai jam kantor. Please, orang lain jadi ngomongin lo."

"Oh!" Diara kembali memberi jawaban adalan.

Petto menggaruk pelipis. "Semakin dipikir lo semakin stres. Udah, ikuti aja alurnya."

"Itu pertama kalinya bagi gue," aku Diara dengan bibir bergetar. "Gue tetep takut. Gue ngerasa berdosa. Gue khawatir."

"Ra...." Petto mengusap puncak kepala Diara dengan sayang. "Jangan terlalu dipikir. Nanti lo stres. Gue nggak mau lo kenapa-napa."

Diara menoleh. "Yakin lo nggak mau gue kenapa-napa?"

"Iyalah!"

"Lo cinta gue, kan?" tuntut Diara.

All Over AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang