Kalau gue menghindar, gue jadi jauh dari Diara.
Kalau gue nggak menghindar, gue bisa deket dia. Meski perasaan gue jadi korban.
Jevar duduk di sofa dengan kedua kaki berselonjor ke atas meja. Satu tangannya berada di depan bibir, sedangkan tangan satunya bersandar di tangan kursi. "Kalau menghindar, orang-orang juga curiga."
Mata Jevar terpejam. Setelah dipikir-pikir, memang tidak bisa menghindari Diara. Mereka satu kantor, satu lantai, apalagi tugas Diara yang memberi tahu jika ada klien baru.
"Emang nggak bisa!" Jevar menggeleng tegas. Dia mengambil remot yang sedikit diduduki dan menyalakan televisi.
Jevar menekan remot itu, tapi tidak menemukan acara yang bagus. Menyerah, dia menekan tombol merah hingga layar berubah hitam. Jevar bangkit menuju dapur dan membuka kulkas.
Pandangan Jevar tertuju ke sisa snack yang dibeli saat bersama Diara. Dia mengambil roti kering yang pasti semakin keras setelah dimasukkan ke kulkas dan membuka bungkusnya. Dia melahap roti kering itu dengan senyum kecut.
"Terlalu kering!" Jevar melempar snack ke meja lalu membuka kulkas lagi. Dia melihat sisa air mineral dan mengambilnya. "Bego banget waktu itu gue nggak belanja sekalian."
Jevar menarik kursi makan dan menegak minumannya. Bayangan saat berbelanja bersama Diara seketika menyeruak. "Prttt...." Jevar menyembur begitu saja. "Kok berasa suami istri lagi belanja, ya?"
Pikiran Jevar semakin ke mana-mana. Dia meletakkan botol minuman lalu menelungkupkan kepala di atas meja. "Lo sukes bikin gue patah hati, Ra," gumamnya. "Tapi, gue ngak bisa move on gitu aja."
Jevar memejamkan mata. Dia yakin tidak akan bisa melupakan Diara. Rasanya ada yang berbeda saat mencintai Diara dengan wanita lain. Terasa lebih tulus, lebih sabar dan lebih pendiam. Padahal, Jevar bukan orang yang sesabar itu.
"Wah! Jangan-jangan emang cinta beneran," gumam Jevar sambil mengangkat wajah. "Kalau cinta beneran, terus dia nggak mau?"
Sudut bibir Jevar tertarik ke bawah. Apa mungkin jika dia tetap memperjuangkan cintanya, dia bisa mendapatkan Diara? Bagaimana jika dia tidak berhasil mendapatkan wanita itu? Bukankah itu buang-buang waktu?
"Nggak ada yang namanya buang-buang waktu!" geram Jevar.
***
Bertambah hari, perut Diara semakin besar. Dia sudah tidak lagi mengenakan kemeja dengan bagian bawah agak pendek, tapi selalu mengenakan kemeja panjang dan bawahan longgar. Tidak hanya itu, dia juga tidak lagi memakai heels.
Diara telah kembali ke rumah. Dia tidak ingin membebani Sarena, karena wanita itupun sedang patah hari karena Erico ke Thailand. Sesekali dia mampir untuk saling menghibur. Selain itu, dia jarang menemui Tera. Sampai detik inipun dia belum memberi tahu sahabatnya itu. Sungguh, Diara sahabat yang buruk.
"Nyonya Diara."
"Iya!" Diara menyampirkan tas di pundak kemudian mendekati loket pembayaran. Dia menyerahkan beberapa lembar uang sedangkan si petugas menyerahkan obat.
Diara berbalik sambil membawa obat yang diresepkan dokter. Beberapa hari terakhir, dadanya sering sakit. Kadang pinggangnya juga terasa kaku dan rasanya menjalar hingga perut. Dokter mengatakan jika itu masih normal. Diara juga harus rajin menuliskan keluhan yang dirasakan, sebelumnya dia tidak pernah mengisi itu.
Bress....
Sampai luar, Diara terkejut karena tiba-tiba hujan. Dia mengusap lengannya yang meremang. Sepulang dari kantor dia langsung ke rumah sakit dan lupa membawa jaket. Sudah seminggu terakhir dia tidak lagi menggunakan motornya. Tiap hari naik taksi atau kadang diantar mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Over Again
General Fiction[ALL SERIES 3] Diara memiliki hubungan rahasia dengan Petto, mantannya saat kuliah dan mereka sekarang satu kantor. Di saat seperti itu, ada Jevar yang banyak digandrungi wanita di kantor. Banyak yang menebak jika kelak Diara yang berhasil mendapatk...