"Kok lo pucet banget, sih, Ra?"
Diara mendongak mendapati kakaknya yang mengenakan kaus. "Hemmp...." Dia menekan kedua tangan ke mulut lalu mendorong lengan kakaknya. Dia berjalan menuju kamar mamanya, yakin jika menuju kamarnya sendiri cairan di perutnya keburu keluar.
Begitu sampai kamar mandi, Diara langsung muntah. Perutnya mual dan ada rasa mengganjal di tenggorokan. Dia memijit leher agar bisa muntah lagi, tapi hanya terasa mual. Diara lalu berdiri tegak dan menyalakan kran.
Diara melihat pantulan dirinya di cermin. Pipinya semakin tirus dan bagian bawah matanya menghitam. Selama ini Diara menghindari cermin. Karena itu dia jarang memakai makeup. Entahlah, pikirannya ke mana-mana setiap dia menatap pantulan dirinya.
"Gimana? Mendingan?"
Perhatian Diara teralih. Dia melihat mamanya mendekat sambil membawa minyak kayu putih. "Aku sekurus ini, ya, Ma?"
"Kamu, sih, makannya nggak teratur." Mama Diara masuk kamar mandi dan menyibak kemeja yang dikenakan Diara. "Sini, pakai minyak dulu."
Diara menunduk. Dia melihat perutnya yang lebih membuncit dari biasanya. Lantas dia menatap mamanya yang terdiam. "Aku pakai sendiri."
"Bentar!" Mama Diara memegang pinggul Diara. Dia sedikit menarik ke bawah rok yang dikenakan anaknya dan memperhatikan dengan saksama. "Ra!" Perhatiannya kemudian tertuju ke Diara.
Napas Diara tercekat. Dia tidak tahu waktu sudah berlalu berapa lama. Sepertinya sudah dua bulan lebih. Dia tidak tahu kapan terakhir datang bulan, sepertinya sudah lama. Diara menarik roknya ke atas dan menarik kemejanya.
"Mama tahu perubahan seseorang itu gimana."
Diara menunduk. Matanya mulai terasa panas dan pandangannya mulai mengabur. Kedua tangannya memegang wastafel dengan erat, khawatir akan kehilangan keseimbangan.
"Nggak mungkin kondisi tubuhmu kayak gini." Mama Diara menatap tubuh anaknya sekali lagi. Dia tidak akan bingung jika tubuh Diara kurus dan perutnya tidak membuncit. Namun kali ini, perut Diara membuncit, pinggulnya berisi dan tentu saja ada perubahan lain.
Mama Diara menutup mulut kemudian menjauh. Dia duduk di pinggir ranjang dan air matanya seketika turun. Aku pasti salah lihat. Dia mencoba meyakini jika perut Diara buncit karena tidak pernah olahraga dan makan sembarangan. Namun, dia merasa ada hal aneh.
"Ma!" Derio memutuskan masuk. "Nggak sabar makan nasi goreng buatan mama."
"Ben.. tar, Nak!"
Derio mengernyit mendengar suara mamanya yang bergetar. Dia mendekat dan melihat bahu mamanya bergerak naik turun. Lalu dia mengedarkan pandang dan mendapati pintu kamar mandi terbuka. "Diara!" Dia segera mendekat dan mendapati adiknya itu menunduk.
Diara melirik abangnya sekilas. "Gue nggak apa-apa kok."
"Hiks...." Mama Diara menangis pelan.
Perhatian Derio teralih. Dia melihat sang mama yang menunduk dan terdengar isakan hebat. "Kenapa?" Seketika dia mendekati mamanya. "Diara yang bikin mama nangis?"
Mendengar suara abangnya, Diara mulai panik. Dia berjalan keluar, melihat mamanya yang menutup mulut. Saat wanita itu menoleh dan matanya bertemu pandang, dia segera membuang muka. Diara tidak sanggup melihat mamanya seperti itu.
"Lo ngomong kasar, ya, ke mama?" teriak Derio. "Lo udah gede, jangan manja."
"Udah! Jangan marahin dia."
Napas Diara tercekat. Dia menatap Derio dan berusaha menenangkan mamanya. "Aku ke kantor, ya, Ma!"
"Nggak usah!" jawab Mama Diara sambil menyentak Derio. "Kita harus ke dokter!"
KAMU SEDANG MEMBACA
All Over Again
General Fiction[ALL SERIES 3] Diara memiliki hubungan rahasia dengan Petto, mantannya saat kuliah dan mereka sekarang satu kantor. Di saat seperti itu, ada Jevar yang banyak digandrungi wanita di kantor. Banyak yang menebak jika kelak Diara yang berhasil mendapatk...