Berangkat ke kantor dengan kondisi babak belur bukan kombinasi yang pas. Ditambah, nanti harus bertemu klien. Biasanya Jevar akan menunjukkan hasil kerjanya dengan bangga. Namun dia yakin, hari ini tidak akan seperti itu. Karena memang ada yang membebani.
Tidak hanya itu, Jevar juga harus menjemput Diara. Wanita itu pasti akan tanya kondisi wajahnya. Itulah yang membuatnya bingung. Dia tidak ingin jujur dan membuat Diara ingat dengan Petto. Apalagi ucapan Petto kemarin.
"Hah! Dia mau tanggung jawab?" geram Jevar. "Ikut biayai?" Dia menggeleng tegas.
Jevar yakin sebelumnya Petto lepas tanggung jawab. Namun, lelaki itu hanya mau membiayai. Apakah itu sepadan? Tentu saja tidak.
Selain itu, Jevar merasa keluarga Diara tidak akan mau menerima pertanggungjawaban Petto. Diara sendiri bahkan sudah benci ke Petto. Mendengar nama lelaki itu disebut, sudah membuat mood Diara memburuk.
"Huh...." Jevar mengembuskan napas cepat. Dia membelokkan mobil menuju komplek perumahan Diara dan menghentikan kendaraannya tepat di depan garasi.
Tidak disangka, Diara sudah menunggu di luar sambil membawa kantung makanan. Jevar menggerakkan tangan dari dalam mobil, kemudian membuang muka. "Semoga dia nggak tanya."
Diara mendekat dan membuka pintu. Saat itulah pandangannya tertuju ke wajah Jevar yang membiru dan bengkak. "Lo habis berantem?"
"Hehe. Sama tetangga sebelah," bohong Jevar.
"Sampe segitunya?" Diara meletakkan kotak makan di dashboard kemudian naik mobil. Sambil memasang sabuk pengaman, dia memperhatikan Jevar yang enggan menatapnya. "Nggak lo obati, ya?"
Jevar menggeleng. "Terlalu males. Langsung gue tinggal tidur."
"Kita ke apotek."
"Nggak perlulah!" Jevar kemudian melajukan kendaraannya. Dia mengemudi sambil berusaha keras agar tidak menatap Diara. Meski susah.
Sedangkan Diara tidak bisa mengalihkan pandang. Kedua sisi rahang Jevar membiru dan bengkak. Belum lagi di sekitar pipi yang membiru dan terdapat goresan. "Emang tetangga lo ngapain kok sampai berantem?"
"Nggak mau buang sampah."
"Cuma gitu, dong?" Diara menggeleng tak percaya. "Dari wajah lo kayaknya enggak."
Jevar mengusap rahangnya yang memar. "Beneran."
"Ya udah, anggap gue percaya," ujar Diara. "Kita ke apotek dulu."
"Nggak usah. Gue harus ketemu klien bentar lagi."
"Gue mau beli vitamin, Jev."
"Oke kalau gitu." Jevar memaksakan senyuman. Dia melirik dan Diara memperhatikannya. Seketika dia menatap depan dengan senyum canggung. Kenapa dia baru ngelihatin pas wajah gue babak belur, sih?
Lima menit kemudian, mobil Jevar berbelok ke apotek. Diara segera turun dan berjalan cepat. Jevar yang melihat itu was-was. "Lo lagi hamil, Ra!"
Jevar duduk bersandar sambil menunggu. Dia melirik spion tengah, melihat wajah tampannya membiru. Ibu jarinya lalu mengusap bagian pipi yang terdapat goresan. Dia yakin itu karena kuku Petto. "Harusnya dia kemarin gue cakar juga."
Pandangan Jevar lalu teralih ke rahang sebelah kanan yang lebih besar dari sebelah kiri. Dua-duanya memang bengkak, tapi bengkaknya berbeda. "Jelek banget wajah gue!"
"Emang!"
Tubuh Jevar berjingkat. Dia menoleh, melihat Diara membawa kantung kecil berwarna putih. "Udah?"
"Belum!" jawab Diara sambil membuka kantung. Dia mengambil kasa, mengoleskan dengan antiseptik kemudian menyerahkan ke Jevar.
"Buat apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
All Over Again
General Fiction[ALL SERIES 3] Diara memiliki hubungan rahasia dengan Petto, mantannya saat kuliah dan mereka sekarang satu kantor. Di saat seperti itu, ada Jevar yang banyak digandrungi wanita di kantor. Banyak yang menebak jika kelak Diara yang berhasil mendapatk...