Andai malam tadi Diara memilih pulang bersama Jevar, mungkinkah hal itu tidak terjadi? Bisa jadi dia bangun dengan tenang di kamarnya, tempat paling nyaman. Bisa jadi setelah itu dia sarapan yang telah disiapkan mamanya. Setelah itu dia bisa menelepon dua temannya dan mengajak ke kafe bersama. Bisa jadi seperti itu, kan?
Sayangnya, Diara memilih hal lain. Seharusnya memang dia tidak terlalu mengikuti perasaan. Harusnya setelah pulang dari ulang tahun Jevar dia langsung pulang.
"Setelah ini gue anter pulang!"
Perhatian Diara teralih. Dia melihat Petto yang terlihat segar sehabis mandi. Dia duduk di pinggir ranjang dan mulai mengenakan sepatu. Diara lalu menunduk, menatap rok terusan yang kemarin dikenakan. Setelah itu dia menatap jendela hotel yang masih tertutup gorden.
"Ra!" Petto menatap Diara karena tidak mendapat jawaban. "Jangan terlalu dipikirin."
"Gimana gue nggak mikir?"
"Semalem itu...."
"... kesalahan?" potong Diara. "Lo yang tiba-tiba belok ke hotel dan maksa gue buat nemenin, lo bilang kesalahan? Nggak sengaja?"
Petto menunduk. Dia mengikat tali sepatunya kemudian berdiri. "Kenapa semalem nggak kabur aja?"
"Lo pikir gue bisa kabur?" Diara menatap Petto tak habis pikir. "Siapa yang semalem terus marah-marah? Siapa yang semalem bikin gue nangis?"
"Iya. Gue ingat."
Napas Diara tercekat. Dia ingat saat hendak membuka pintu, Petto menarik dan menciumnya. Diara berusaha kabur, tapi lelaki itu seperti kesetanan. Dia dipeluk erat dan tidak bisa bergerak sama sekali. Hingga akhirnya ketiduran.
Jika hanya itu yang terjadi, Diara tetap akan semarah ini. Justru setelah ketiduran itu, Petto melakukan hal yang tidak seharusnya. "Lo maksa gue! Lupa?"
Petto menggaruk pelipis. "Itu bukan pertama kalinya."
"Tapi, kali ini lo maksa!" teriak Diara tidak peduli ada orang yang mendengar. "Lo tahu, kan, ini namanya pelecehan?"
"Ra! Akui aja lo juga suka."
Diara membuang muka. "Dalam sehari lo berubah sedrastis ini," ujarnya. "Atau ini diri lo aslinya?"
Petto mendekat dan menarik tangan Diara. Hingga wanita itu tertarik dengan posisi bersimpuh di atas ranjang. "Gue minta maaf. Oke?"
"Kalau minta maaf itu segalanya, nggak ada yang namanya penjara."
"Ra!" Petto berteriak.
Air mata Diara kembali menetes. Dia benar-benar tidak tahu Petto sebrengsek itu. Apa mungkin matanya terlalu tertutupi oleh perasaan hingga logikanya tidak bisa jalan? Atau, Petto benar-benar pintar menutupi semuanya?
"Sorry." Petto membungkuk dan memeluk Diara.
Sayangnya, Diara sudah jijik dengan Petto. Dia mendorong lelaki itu dan bergerak menjauh. Dia menunduk sambil menutup wajah. "Gue nggak bisa lagi sama lo."
"Ra!" ujar Petto pelan. "Jangan langsung ambil keputusan gitu."
"Lo percaya gue selingkuh sama Jevar, kan?"
"Jadi, beneran selingkuh?"
Diara menahan napas. Di saat seperti ini, dia justru membawa nama Jevar. Namun sungguh, dia tidak harus mencari cara apa lagi agar terbebas dari Petto. "Gue juga ngerasa nyaman kok."
"Lo ngomong apa?" Petto mendekat dan memegang lengan Diara. Dia meremasnya hingga kukunya menancap di lengan Diara.
"Sakit!" keluh Diara sambil mendorong Petto.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Over Again
General Fiction[ALL SERIES 3] Diara memiliki hubungan rahasia dengan Petto, mantannya saat kuliah dan mereka sekarang satu kantor. Di saat seperti itu, ada Jevar yang banyak digandrungi wanita di kantor. Banyak yang menebak jika kelak Diara yang berhasil mendapatk...