AGAIN-44

212 44 5
                                    

Pukul tujuh malam, Diara keluar dari kamar. Rambutnya berantakan dan piamanya kusut. Dia baru bangun tidur. Selama tidak bekerja, jam tidurnya terbalik. Dia baru tidur setelah sarapan dan bangun saat matahari tenggelam.

"Di kantor dia nggak ada masalah, kan?"

Diara hendak menuruni tangga terakhir saat mendengar suara mamanya. Perlahan, dia bergerak mundur dan menaiki tangga. Sengaja menguping.

"Enggak kok. Malah dia punya pacar, kan?" Terdengar suara Tantenya. "Katanya juga baik-baik aja."

"Nah, makanya! Terus kenapa sampai sekarang dia nggak kerja?" Mama Diara mulai bingung. "Diara makin nggak bisa ditebak."

"Sekarang anaknya mana?" Kali ini terdengar suara Pak Wawan.

Napas Diara tercekat. Dia menuruni tangga kemudian menuju dapur.

"Ra! Itu kamu?" Mama Diara menggerakkan tangan meminta dua orang di depannya tidak bersuara. Setelah itu dia menuju dapur dan melihat anaknya yang mengambil nasi.

"Ra! Om mau bicara sama kamu."

Diara menoleh, melihat mamanya yang mengangguk. Dia meletakkan piring begitu saja kemudian menuju ruang tengah. Om dan Tantenya seketika tersenyum. "Sore," sapanya kemudian duduk di hadapan mereka.

"Kamu sakit, Ra?" Tante Hasanah menatap Diara yang semakin kurus. Sorot matanya juga terlihat sendu.

"Udah mendingan, sih, Tan," jawab Diara sambil memaksakan senyuman. Setelah itu dia menatap omnya yang memperhatikan.

"Kapan kamu kerja, Ra? Sudah lima hari kamu nggak masuk." Pak Wawan duduk tegak. "Di kantor lagi ruwet. Kasihan Sesha sama Prita kalau nggak ada kamu."

Mama Diara baru bergabung sambil membawa nampan minuman. Dia meletakkan dua gelas di atas meja lalu duduk di sisi Diara. "Kamu ada masalah di kantor? Kasih tahu Om biar bisa dibantu."

Diara menggeleng. "Nggak ada masalah kok."

"Terus kenapa nggak mau kerja?" tanya Mama Diara frustrasi.

"Kamu perlu cuti?" Pak Wawan akhirnya menengahi. Melihat penampilan keponakannya yang seperti itu, dia yakin tidak bisa dipaksa. Diara bekerja di bagian yang penting. Jangan sampai karena tidak konsentrasi pekerjaannya banyak yang salah. "Om kasih dua hari."

Bu Hasanah mengangguk ke Diara. "Habis cuti terus kerja, ya!"

Diara merasa itu tawaran yang bagus. Namun sungguh, dia belum ada niat bekerja. Terlebih, dia enggan bertemu Petto. "Sekalian cuti seminggu bisa nggak, Tan?"

"Hahaha...." Pak Wawan terkekeh. "Kamu mau ngapain selama itu, Ra?"

"Menenangkan diri!" Diara mengangkat bahu acuh tak acuh. "Sejak kerja aku nggak pernah ambil cuti, kan?"

Bu Hasanah menatap Pak Wawan dan memberi kode mata. Sedangkan Mama Diara menggerakkan tangan agar lelaki itu menolak. Sayangnya, Pak Wawan memilih mengabaikan itu. "Oke minggu depan kamu cuti, setelah itu Om nggak terima cuti lain selain sakit."

Diara mengangguk setuju. "Berarti minggu depan aku cuti, kan?"

"Yah! Tenangin dirimu."

"Makasih, Om!" Diara menyatukan kedua tangan di depan dada. "Aku boleh permisi?"

"Sebentar!" Mama Diara menahan pergelangan tangan anaknya. "Kamu cuti seminggu itu mau ngapain? Nggak bosen apa?"

"Liburan dulu, Ra! Nenangin pikiran," saran Bu Hasanah.

Diara menatap tantenya sambil melepas cekalan mamanya. "Pengennya cuma di rumah aja." Setelah itu dia menjauh.

Mama Diara mengusap kening. "Lihat, kan? Dia agak aneh."

All Over AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang