Sudah seminggu sejak Diara diperbolehkan pulang. Selama itu, dia tidak pernah jauh-jauh dari kamar. Jahitannya sudah mengering, tapi terkadang terasa nyeri ketika bergerak terlalu cepat. Selain itu dia masih mengonsumsi obat dan membuatnya sering mengantuk. Jadinya, Diara hanya di kamar dan ke ruang makan untuk mengambil makanan.
"Ra. Ada tante."
Perhatian Diara teralih. Dia menatap ke pintu dan melihat mamanya mengintip dari celahnya. Seketika Diara duduk tegak dan memaksakan senyuman.
"Hai, Ra!" Bu Hasanah berjalan masuk sambil membawa kantung di tangan kanan. "Buat kamu."
Diara melihat kantung putih dari brand ternama itu. "Kok repot-repot, Tan?"
"Tante habis jalan, terus lihat barang lucu. Jadinya, pengen beliin buat kamu."
"Makasih, ya, Tan." Diara menerima kantung itu dan membukanya. Dia melihat sebuah tas kecil berwarna putih. Matanya seketika berbinar. "Tan, makasih."
Mama Diara yang melihat sorot mata anaknya tersenyum. Dia berbalik saat air matanya mulai turun. Tentu saja, setelah anaknya mengalami kejadian yang cukup menakutkan, kemudian melihat Diara tersenyum lagi, dia begitu bahagia.
"Cepet pulih, ya, Ra!" Bu Hasanah menepuk tangan Diara pelan. "Om kangen banget pengen lihat kamu duduk di ruangan lagi."
Sorot mata Diara seketika berubah. "Kayaknya aku nggak akan kerja, Tan."
"Eh, jangan ngomong gitu," sela Bu Hasanah sambil menggeleng pelan. "Kamu harus lanjutin hidup. Kamu berhak dapet kebahagiaan."
Diara tersenyum masam. Entahlah, dia tidak lagi bersemangat. Memang, orang di sekitarnya selalu mendorongnya untuk cepat bangkit. Namun, ada ketakutan yang masih menghantuinya.
"Tante yakin, ponakan Tante yang satu ini bisa jalanin semuanya." Bu Hasanah mendekat, memeluk Diara dengan erat. Matanya seketika berkabut. Dia ingat dengan cerita kakaknya yang terus khawatir Diara menarik diri dari dunia luar. Sebagai seorang ibu, dia juga merasa sedih. Apalagi itu terjadi ke Diara, keponakannya yang penurut.
Tidak ada respons dari Diara. Kedua tangannya masih memegang tas pemberian Bu Hasanah. Dia juga tidak menahan tangis. Entah, dia tidak merasakan apapun.
"Tante juga bawain makanan di bawah. Mau diambilin?" tanya Bu Hasanah sambil mengurai pelukan.
Diara menggeleng pelan. "Nanti aja, Tan."
"Ya udah, Tante harus balik. Kasihan Om kamu kalau udah pulang nggak ada Tante," ujar Bu Hasanah sambil mengusap pipi Diara. "Tante, pamit."
"Hati-hati, Tan."
Bu Hasanah mengangguk kemudian berjalan keluar. Begitu sampai ruang makan, dia melihat kakaknya sedang menyeduh teh. Lantas dia mendekat. "Selama seminggu nggak ada perubahan?" tanyanya. "Kapan kontrol lagi?"
Mama Diara meletakkan cangkirnya ke meja dan menatap adiknya dengan sorot sendu. "Kalau nggak diajak ngomong, dia nggak bakal ngomong."
"Terus temenin, jangan biarin dia sendirian," saran Bu Hasanah. "Dia masih labil."
"Aku sebenernya capek, tapi harus kuat demi Diara."
Bu Hasanah kagum dengan kakaknya. Dulu, kakaknya pekerja kantoran kemudian memilih menjadi ibu rumah tangga. Masih tergambar jelas, ketika kakaknya sering menangis karena susahnya mengurus anak. Keluhan selalu saja terjadi. Namun, kakaknya tidak menyerah. Hingga berhasil membesarkan Derio dan Diara tanpa bantuan orang lain. "Kamu pasti kuat, Kak."
Mama Diara mengangguk. "Semoga."
"Saranku coba temui psikolog, takut kena mental Diara."
"Derio juga nyaranin gitu," ujar Mama Diara. "Lusa, waktunya Diara kontrol. Nanti aku kasih tahu dia pelan-pelan."
KAMU SEDANG MEMBACA
All Over Again
General Fiction[ALL SERIES 3] Diara memiliki hubungan rahasia dengan Petto, mantannya saat kuliah dan mereka sekarang satu kantor. Di saat seperti itu, ada Jevar yang banyak digandrungi wanita di kantor. Banyak yang menebak jika kelak Diara yang berhasil mendapatk...