AGAIN-42

211 44 11
                                    

Matahari menyelinap masuk ke kamar di lantai dua dengan dua buah jendela yang dibuka lebar. Angin berembus menyegarkan ruangan. Tanpa AC, kamar itu sudah terasa sejuk. Kamar memang tempat paling nyaman.

"Ehm...." Diara bergerak sambil memegang pinggang. Tubuhnya terasa begitu remuk. Dari semalam dia susah tidur. Tentu saja sekelebat bayangan tindakan Petto malam itu terus bermunculan. Membuatnya ketakutan.

"Ra! Kamu beneran nggak ke kantor?"

Samar-sama Diara mendengar suara itu. Dia menatap ke pintu yang masih terkunci. Dari kemarin dia tidak keluar kamar. Untung mamanya percaya saat dia bilang sudah makan banyak di tempat Sarena.

"Ra! Kamu sakit?" Suara itu semakin mendekat.

Diara mengacak rambut kemudian beranjak. Dia menatap ke kaca rias, melihat penampilannya yang kacau. Sekitar matanya menghitam dan mengkilat. Matanya juga bengkak karena kebanyakan menangis. Belum lagi, wajahnya yang berminyak dan ada dua jerawat di kening.

"Diara! Kamu dengerin mama?"

"Iya!" jawab Diara setengah menggeram. Dia berjalan menuju pintu dan menyadari kantungnya masih tergeletak. Lantas dia mendorong kantung itu begitu saja.

Saat pintu terbuka, perhatian Mama Diara langsung tertuju ke wajah anaknya. Dia mengerjab beberapa kali sebelum akhirnya mendekat. "Kamu kenapa, Ra?"

"Nggak enak badan." Diara mengeluh. "Mama masak apa?"

"Bikin pentol pedas. Mau mama buatin bubur?"

Diara berjalan menyeret kaki menuju ranjang lalu tengkurap. Saat melihat sorot khawatir mamanya, dia ingin menangis. Bagaimana jika mamanya tahu apa yang terjadi? Dia banyak menyembunyikan rahasia dari mamanya. "Aku beneran banyak dosa."

"Orang sakit itu dosanya lagi digugurin!" ujar Mama Diara sambil mendekat. Dia geleng-geleng, melihat tas anaknya yang tergeletak di lantai. Dia mengambilnya dan meletakkan di atas nakas. "Kamu mau makan apa?"

"Ma...." Diara menarik bantal dan menyembunyikan wajahnya.

Mama Diara bingung dengan reaksi anaknya. Dia duduk di pinggir ranjang dan berusaha melihat wajah Diara. "Kamu nggak apa-apa?"

"Ma. Aku...."

"Kenapa?" Mama Diara mulai khawatir.

Diara menggeleng tegas. Dia ingin memberi tahu semuanya, tapi tidak mampu. Mamanya pasti akan kecewa. Namun jika tidak memberi tahu, dia tidak akan sanggup menghadapinya sendiri. "Hikss...."

"Mama beliin bubur aja, ya! Biar kamu cepet makan," ujar Mama Diara. "Mama juga ada persediaan obat kok. Sementara minum itu dulu, nanti baru ke dokter." Setelah mengucapkan itu Mama Diara menjauh.

Diara menoleh ke arah pintu. Air matanya semakin turun. Karena kecerobohannya, dia telah menyakiti mamanya. "Ma. Maaf...."

***

Jam istirahat, Jevar baru keluar dari ruang produksi. Dia sibuk membuat iklan animasi. Tentu saja belum jadi, bahkan masih draft kasar.

Jevar hendak menuju pintu lift saat merasa ada yang menatapnya tajam dari arah belakang. Seketika Jevar berhenti dan berbalik. Firasatnya benar, ada yang memperhatikan.

"Gue mau ngomong bentar!" ujar Petto kemudian masuk ke tangga darurat.

Jevar mengacak rambut kemudian berjalan menuju tangga darurat. Baru saja melangkah, dia sudah mendapat pukulan di rahang. Beruntung dia bisa menjaga keseimbangan hingga tidak sampai terjatuh.

"Lo sengaja mau rebut Diara, kan?" tanya Petto sambil menutup pintu dengan kaki. "Gue tahu lo meluk Diara di kantor."

"Oh...." Jevar merespons singkat. Dia berdiri tegak sambil mengusap rahangnya yang terasa nyeri. Setelah itu dia menatap Petto. "Pengen tahu kenapa gue meluk dia?"

All Over AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang