AGAIN-48

206 47 14
                                    

Prita: Ra, kok nggak masuk lagi? Beneran sakit?

Jevar: Tadi meeting kok nggak ada lo?

Bu Sesha: Ra, besok masuk, kan?

Diara membaca pesan dari tiga orang yang sering mengkhawatirkannya. Ada perasaan bersalah karena dua hari tidak masuk bekerja begitu saja. Mamanya kali ini juga tidak menghubungi Tante Hasanah. Jelas, karena mamanya masih syok.

Selama dua hari di rumah, Diara dan mamanya tidak saling bertegur sapa. Abangnya telah kembali tadi pagi. Artinya dia tidak ada orang yang melindunginya lagi jika mamanya marah. Plus, papanya sepertinya belum tahu.

Diara sudah menyiapkan mental, yakin jika papanya tahu pasti akan memarahinya juga. Memang dia pantas dimarahi. Dia sudah bertindak di luar batas.

"Diara!"

Tubuh Diara berjingkat. Bom akan meledak. Dia segera turun dari ranjang dan berdiri menatap pintu.

Beberapa detik kemudian pintu terbuka. Diara melihat papanya berdiri bertolak pinggang. Di belakangnya sang mama berusaha menahan. Diara memejamkan mata kemudian bersimpuh. "Pa. Maaf."

Papa Diara mendekat dan mengguncang pundak Diara. "Kenapa bisa kayak gitu? Siapa yang udah lakuin itu ke kamu?" geramnya. "Dia maksa kamu? Atau kamu sendiri?"

Diara terdiam meski guncangan papanya semakin kencang. Kemudian ada tangan dingin yang memegang lengan, membantunya agar tidak terombang-ambing.

"Ma! Jangan belain!" geram Papa Diara. "Jujur ke papa! Siapa yang ngelakuin itu?"

Mata Diara terpejam erat. "Mantan pacarku, Pa!"

"Mantan?" Papa dan Mama Diara sama-sama kaget. "Setelah itu dia ninggalin kamu?" tanya Papa Diara.

Diara menggeleng. "Aku yang ninggalin dia."

Plak....

Pipi kiri Diara terdorong kencang karena tamparan itu. Kedua tangannya terkepal berusaha tetap kuat. Dia juga berusaha agar tidak menangis. Memang dia salah dan berhak mendapat kemarahan itu.

"Nggak ada yang mau kamu kasih tahu lagi?" tanya Papa Diara. "Di mana rumah mantanmu itu?"

Diara tidak menjawab. Menurutnya percuma papanya meluapkan emosi ke Petto. Lelaki itu pasti akan menghindar. "Nggak perlu, Pa!"

"Segitu cintanya kamu sampai belain?" Papa Diara memandang anaknya yang terdiam dengan bahu bergetar. "Jawab!"

"Enggak," jawab Diara sambil memberanikan diri menatap. "Marahin aja aku, Pa! Emang aku yang salah. Nggak bisa jaga kepercayaan papa."

Papa Diara memegang pundak anaknya. "Gimana bisa kamu kayak gini, Ra? Kamu bikin papa malu. Bahkan papa yakin kamu sendiri malu."

Diara kembali memejamkan mata. Perasaannya benar-benar campur aduk. Andai bisa, dia ingin menghilang ke tempat yang hanya dirinya sendiri.

"Kamu selesaiin masalahmu sendiri, kamu udah dewasa!" Setelah mengucapkan itu Papa Diara pergi.

Mama Diara menatap anaknya yang masih dengan posisi bersimpuh. Dia memegang lengan anaknya dan membantunya bangkit. "Ayo."

"Makasih, Ma!" ujar Diara setelah kembali duduk.

Ini pertama kalinya Mama Diara bisa menatap anaknya lagi, setelah tahu anaknya hamil. Dia memegang tangan Diara dan mengusapnya pelan. "Ceritain kok bisa sampai kayak gitu."

Diara menunduk. "Aku nggak bisa."

"Coba terbuka ke mama. Jangan dipendam sendiri."

Pandangan Diara tertuju ke mamanya. Dia memeluknya dan tangisnya seketika pecah. "Ma...." Lidah Diara terasa kelu. Namun, sepertinya dia tidak bisa menyembunyikannya lagi.

All Over AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang