AGAIN-59

339 62 20
                                    

Sepasang mata itu menatap langit-langit kamar, sambil sesekali berkedip beberapa kali. Matanya terlihat memerah. Namun, tidak ada cairan yang menetes keluar.

Baru beberapa menit yang lalu, Diara diberi tahu dokter tentang kondisinya. Awalnya dia memaksa mamanya bercerita, tapi mamanya tetap diam. Terpaksa Diara memaksa dokter itu.

Kondisi Diara mulai membaik. Namun, tidak dengan kondisi mentalnya. Mana ada wanita yang tidak sedih setelah keguguran?

Napas Diara tercekat. Dia berusaha menghela napas pelan, tapi terasa susah. Dia berpegangan di sisi ranjang sambil memejamkan mata.

Diara tidak bisa menangis dan itu membuatnya semakin sesak. Dia ingin mengeluarkan kesedihannya, tapi tidak bisa. Kesedihan itu begitu besar hingga dia tidak mampu untuk mengeluarkan.

"Hem...." Diara menarik napas panjang. "Hiks...." Namun, tidak ada air mata yang keluar.

Mata Diara terbuka dan mengerjab beberapa kali. Satu tetes air mata akhirnya lolos.

"Hikss...." Barulah tangisan itu pecah.

Diara merasa gagal menjadi seorang ibu. Sebelumnya dia merasa gagal menjadi seorang anak dan seorang wanita. Sekarang dia gagal lagi. Andai gue lebih hati-hati....

Tangan Diara mengusap perutnya yang rata. Sering kali dia merasa ada kedutan pelan di perut, seolah janinnya masih ada. Sayangnya, di dalam rahimnya sudah tidak ada apa-apa lagi.

Diara menghapus air mata yang keluar, hingga menetes ke bantal. Dia berusaha tenang, tapi tangisnya tidak mau berhenti. Dia pikir setelah menangis sesaknya akan menghilang, tapi rasa itu belum juga pergi.

"Huh...." Diara mengembuskan napas panjang.

Gue gagal jadi seorang ibu.

Kalimat itu terngiang di kepala Diara. Yah, dia merasa benar-benar gagal. Maaf, Nak.

Diara memejamkan mata. Sekalipun dia tidak akan firasat. Andai memiliki firasat, mungkin dia akan lebih berhati-hati.

"Gue nggak boleh terus nyalahin," gumam Diara sambil menghapus air mata.

Sekarang, entah Diara harus menjalani hidup seperti apa. Pasti orang-orang akan menatapnya penasaran. Dia belum siap mendapat tatapan penuh tanya lagi. Belum lagi, dia mungkin tidak akan bisa melupakan calon anaknya.

"Gue harus gimana?" Diara menghapus air mata, tapi tetesan itu tetap keluar. Dia lalu menyentuh dada dan menepuknya pelan.

***

Keesokan harinya, Diara dipindahkan ke ruang rawat biasa. Begitu sampai di ruangan itu, dia terkejut melihat om dan tantenya berdiri sambil membawa beberapa bunga. Diara yang duduk di kursi roda didorong oleh mamanya, hanya bisa melambaikan tangan.

"Ayo, om bantu pindah!" Pak Wawan menyerahkan buket bunga ke istrinya kemudian membantu Diara.

"Pelan-pelan, Ra!" Mama Diara segera membantu. Dia diberi tahu dokter jika jahitan di perut Diara belum mengering.

Diara berdiri dengan susah payah, kemudian berpindah ke ranjang. Dia tersenyum setelah berhasil duduk. Lantas menatap tantenya yang berada di ujung ranjang.

"Kok pakai kursi roda, sih? Kasihan Diara!" ujar Bu Hasanah.

Mama Diara menatap anaknya yang keras kepala itu. "Katanya malu, terlentang sambil di dorong lewat orang-orang."

"Aneh, Ma," jawab Diara sambil menahan tawa.

"Ini, dari temen-temenmu!" Pak Wawan mengambil dua buket bunga dan menyerahkan ke Diara. "Om belum izinin mereka dateng. Nunggu izinmu dulu."

All Over AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang