"Jadi, untuk short program nanti, ini adalah musik yang akan kamu pakai."
Alexis bertepuk keras hingga tepukannya menggaung di arena es. Terdengar alunan musik pop dengan intro piano mengalun. Terdengar familiar. Hanya saja yang terdengar adalah musik tanpa vokal. Musik ber-beat medium itu tanpa sadar membuat kepala Milana mengangguk-angguk.
"Aku suka lagu ini. Lagu dari Adele, Set Fire to The Rain kan?" tebak Milana.
"Yap. Bagaimana menurutmu? Aku sudah minta temanku yang music engineer untuk mengaransemen ulang musiknya dengan iringan orkestra untuk durasi sekitar dua menit termasuk intro, bridge, klimaks lalu ending."
"It's good. Ini pertama kalinya aku punya kesempatan memakai lagu populer untuk program utama yang bukan gala."
"I know. Kamu selalu pakai musik klasik atau composer untuk musik opera dan balet. Swan Lake, Don Quixote, Chopin, Beethoven bla bla bla. You know what? It's boring."
"Tapi, musik semacam itu seperti jaminan penampilan kita akan mengalir dengan cantik."
"Ya itu benar. Secara komposisi musik klasik sudah memenuhi standar, tapi tidak terlalu appealing bagi audience lagi. Kamu sudah berpengalaman di kejuaraan skating internasional dan orang-orang sudah tahu kecenderungan musik yang kamu pilih. Kehadiranmu nggak akan membuat impact yang besar jika kamu tetap memilih musik sejenis."
Milana mengangguk-angguk. Alexis sebelumnya sudah memberikan sedikit bocoran beberapa gerakan yang ia koreografikan, tapi Milana sama sekali tidak menyangka musik yang digunakan adalah musik populer.
"Nah, dengarkan musiknya. Apa yang kamu rasakan saat mendengarkan musik ini. Kira-kira tema apa yang cocok?"
Milana mencoba memejamkan mata, menikmati alunan piano di awal lalu dentuman musik dengan irama band yang cepat. Ada suara gitar elektrik ditambah megahnya orkestra.
"Aku merasakan sebuah alur. Seperti saat seseorang jatuh cinta. Manis dan lembut di awal, tegang dan sensual di tengah, lalu menjelang akhir, penuh kemarahan dan frustrasi dan saat akhir menjadi suram dan sedih."
Alexis bertepuk tangan. "Interpretasi yang bagus. Terutama untuk perempuan yang belum kenal cinta kecuali hanya mengejar satu pria," sindir Alexis yang kemudian dibalas dengan tinju ringan Milana di perut laki-laki.
"Awww... Aku ini pelatihmu, kenapa kamu sering menjadikan aku samsak?" Protes Alexis.
"Karena kamu terus-terusan menyindirku. Aku tahu sedikit karena aku paham lirik lagunya. Dasar gila."
Alexis tertawa, "Oke maaf. My bad. Sekarang, lihat gerakanku. Ini akan menjadi gerakan rutin untuk short program-mu."
Alexis kini meluncur di hadapan Milana dengan alunan musik yang baru saja didengar Milana. Hal yang paling menyenangkan memiliki pelatih yang masih sangat prima di lapangan adalah Milana bisa menyaksikan kehebatan sosok yang dulu adalah peraih medali emas di nomor skating berpasangan. Kali ini dengan musik aransemennya dan gerakan yang ia koreografikan sendiri.
Alexis meluncur dengan sangat lihai. Elegan dan lembut di awal, lalu tatapannya menjadi sangat tajam seiring musik yang intensitasnya juga makin naik. Makin ke puncak Alexis makin memperlihatkan energi yang luar biasa dengan tetap mempertahankan elemen teknik yang harus ada. Di akhir, Alex mengakhiri rutinnya dengan kombinasi lompatan dan putaran yang sempurna.
Wow. Milana refleks bertepuk tangan.
"Kalau kamu masih sehebat ini, kenapa juga kamu memilih pensiun dan jadi pelatih?" tanya Milana tidak habis pikir.
"Sorry, I'm not taking a personal question. Jadi, kamu sudah lihat gerakannya bukan?"
Milana mengangguk.
"Tapi, itu tadi terlalu cepat. Apa bisa temponya dikurangi?" pinta Milana.
Alexis menggeleng. "Nope. Kamu harus perhatikan dan manfaatkan semua kelebihan yang kamu punya. Kamu skater tercepat di antara skater tunggal wanita yang lain. Musik ini memberi kamu kesempatan untuk menggunakan semua energimu untuk elemen teknis dan tetap menunjukkan artistry yang kuat."
"Tapi, aku mungkin cepat, tapi bergerak dengan kelenturan seperti yang kamu tunjukkan, itu berat."
"Karena itu sebelum kamu mempelajari koreografinya, aku membuatmu terbiasa dengan gerakan balet. Sebulan ini aku anggap modalmu sudah cukup. Dan fleksibilitas tubuhmu sudah aku anggap siap menerima gerakan ini."
Milana masih tampak takut. Sejak jatuh dan terluka saat syuting iklan tempo hari, Milana merasakan ketakutan yang cukup besar saat berseluncur dengan kecepatan penuh.
"Kamu takut?" tanya Alexis.
Milana mengangguk pelan.
"Aku ada di sini. Percaya padaku Milana... Seperti judul lagu ini. Cuma kamu yang bisa menyalakan api dalam arena es ini." Alexis menggenggam tangan Milana.
"Hujan."
"Apa?" Alex bertanya keheranan.
"Menyalakan api dalam hujan. Itu terjemahan judul lagunya," ucap Milana meralat lagu yang disebut Alex.
"Itu benar, tapi kamu ada di istana es sekarang. Aku adalah pangeran yang beku dan kedinginan karena terjebak dalam es. Dan kamu... Adalah seorang putri yang memiliki misi untuk mencairkan es di hatiku. Karena kamu punya api dalam jiwamu." Alexis berbisik, nyaris terasa sensual di telinga Milana.
Refleks Milana menjauhkan diri dari pelukan Alexis. Wajahnya memerah karena gestur intim barusan.
"Stop teasing me!" protes Milana dan kini berseluncur ke tepi arena.
Jika ada seseorang yang cocok disebut pangeran es, itu adalah Nathan. Dan hanya Nathan seorang saja yang bisa membuat Milana mengeluarkan bunga api di tangannya. Karena sudah lama ia berharap bisa menaklukkan gunung es dengan nama Nathan Gareth itu.
Berjam-jam Milana berlatih memantapkan setiap lompatan, putaran dan sekuens koreografi untuk short program-nya. Berkali-kali jatuh tidak membuat Milana lelah. Cara Alexis yang melatih tanpa teriakan dan seruan keras membuat Milana lebih fokus dan punya ruang untuk mereview kembali step demi step yang dilakukannya. Menjelang akhir latihan, Coach Anita muncul dengan wajah semringah.
"Penempatanmu sudah diumumkan untuk Grand Prix Series," seru Coach Anita. Melambaikan sebuah kertas seperti baru saja diprint.
"Wah serius?" Alexis tampak takjub. "Cepat sekali berita penempatannya."
Baik Milana maupun Alexis berseluncur menghampiri Coach Anita.
"Milana akan bertanding di event NHK Trophy, Jepang dan di Perancis, Internationaux de France," ucap pelatih yang sudah menemani Milana sejak kompetisi junior itu dengan menyodorkan kertas masing-masing kepada Milana dan Alexis.
"Wah, bulan-bulan ini kita akan sangat sibuk. Milana, kamu sudah siap? Dalam beberapa bulan ke depan kamu akan meninggalkan Indonesia dalam waktu yang cukup lama."
Milana tahu cepat atau lambat musim kompetisi Grand Prix Series akan membuatnya jauh dari kampung halaman, keluarga, juga... Nathan.
Di saat ia berpikir nyaris berhasil menjadikan Nathan sebagai miliknya, di sinilah Milana seolah kembali mulai dari nol. Apakah kompetisi ini memang sebegitu berharga bagi Milana?
Tidak seperti dulu saat Milana yakin bahwa figure skating lebih penting ketimbang segala-segalanya, saat ini Milana bimbang apakah saat kembali menuntaskan agenda pertandingan, keadaan masih akan ramah menyambutnya pulang?
Ponsel Milana yang tergelatak di tepi arena, berdering keras, mengalihkan Milana dari lamunannya. Panggilan dari nenek.
"Halo, Nek? Ada apa?"
"Milana... Rumah keluarga besar kita.... Terbakar. Dan ayahmu... Dia meninggal."
Ponsel di tangannya seketika terjatuh dan Milana terduduk lemas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE ME, TOUCH ME
Romance18+ Sebagai atlet figure skating berbakat dan calon pewaris perusahaan kosmetik ternama, Milana Esanatmadja memiliki segalanya. Cantik, muda, berprestasi dengan berhasil membawa pulang medali perak dari olimpiade musim dingin. Peseluncur wanita yang...