Milana duduk di depan outlet sate kambing dan gado-gado. Sementara Alexis memesan seporsi sate kambing, Milana sudah cukup puas menyantap gado-gado yang dirasa jumlah kalorinya tidak terlalu banyak, tapi masih memanjakan lidahnya. Meski ia banyak merespon percakapan dengan Alexis, pikiran Milana masih melayang ke sosok Nathan.
Sudah seminggu lewat sejak ciuman mereka di apartemen Nathan. Sejak itu pula, Nathan sama sekali tidak menghubunginya. Selama itu pula Milana menahan diri untuk tidak menghubungi duluan karena ia sangat canggung. Ditambah kesibukannya menghadapi latihan intensif membuatnya urung memikirkan hal-hal yang tidak penting--merujuk apa yang diucapkan Coach Anita. Lalu tanpa diduga wajah Nathan muncul di tempat ini dan saat ini duduk dengan wanita cantik entah dari mana yang tidak jauh dari tempat duduk Milana.
"...Lucu kan? Bagaimana pendapatmu?" Alexis bertanya yang sayangnya, Milana sama sekali tidak fokus apa yang dibicarakan pria itu.
"A-apa?" Milana seketika gagap.
"Tentang kelakuan para juri di kompetisi yang mencurangi skor peserta. Sepertinya kamu nggak sepenuhnya mendengarkan ceritaku ya?"
Milana merasa malu. "Bukan begitu, aku--"
"Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Kalau ceritaku nggak membuatmu tertarik, bagaimana kalau kamu yang cerita?"
"He? Aku? Apa-apaan... Itu nggak benar. Ceritamu seru kok, hanya saja... Aku memang kurang fokus belakangan ini."
"Karena urusan cinta?"
Milana terkesiap. Ia ragu untuk menjawab dan sulit untuk mengelak ataupun mengiyakan.
"Ahhh, ternyata benar urusan cinta. Sudah berapa lama kalian pacaran?" todong Alexis tiba-tiba
Milana menggeleng pelan, "Dia bukan pacarku, tapi aku menyukainya sejak enam tahun lalu. Bisa dibilang aku bertepuk sebelah tangan."
"Ahhhh, aku benci dengan cinta bertepuk sebelah tangan, seperti penyakit kronis yang menggerogoti tubuhmu pelan-pelan sampai membuatmu sekarat."
"Maaf, aku nggak terlalu berpengalaman..."
Alexis tertawa, seolah tidak menyangka Milana menjawab dengan pasrah.
"Astaga, kenapa kamu minta maaf? Aku tidak sedang menghakimi kamu."
"Karena—"
"Dengar, aku nggak bilang kamu nggak boleh jatuh cinta. Cinta membuat hormon oksitosin meningkat yang artinya membuatmu lebih bahagia. Tapi, kita berhadapan dengan olahraga profesional yang cukup berbahaya dan berisiko membuatmu terluka. Aku dengar kamu mengalami kecelakaan saat berseluncur yang membuat tanganmu harus dijahit cukup lebar. Kamu tahu pisau sepatu skating bisa sangat berbahaya. So, fokus adalah hal penting..."
Milana menggigit bibirnya, "Ya, aku tahu itu."
"Yap. Kita sepakat bahwa berseluncur butuh fokus luar biasa, tapi kita juga nggak bisa menahan gejolak hormon dan perasaan ingin mencintai dan dicintai. So, that's why aku tidak melarang percintaan, tapi... Aku nggak akan menyarankan cinta platonik sedemikian lama atau cinta tak berbalas. Itu buruk bagi kondisi emosionalmu."
Sejujurnya Milana sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Terutama dengan perasaan cintanya untuk Nathan yang tanpa ia sadari sudah tumbuh sebesar ini.
"Jadi, kamu pikir... Aku harus menyerah, begitukah?" Milana bertanya sedikit takut.
Alexis menggeleng berkali-kali. "No, no, no... Kamu nggak harus menyerah, kamu hanya perlu tahu kapan waktunya untuk berhenti."
"Kenapa aku harus berhenti?" Milana bertanya. Ia tidak mengerti karena selama ini ia hidup dari cintanya yang besar untuk Nathan.
"Karena kamu bisa hancur. Memiliki perasaan cinta itu indah, romantis dan memberimu harapan seolah kamu bisa menaklukkan gunung tinggi. Tapi harapan itu bisa menyakitimu suatu hari. Kecemasan, kebencian, kesedihan memang sudah paket saat kita jatuh cinta. Tapi untuk orang sepertimu, anxiety membuatmu harus berhadapan dengan bahaya."
Milana terdiam. Gado-gado hanya sanggup ia habiskan separuh. Ia meminum jus jeruk perlahan dengan pikiran mencoba mencerna apa yang diucapkan Alexis.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
Alexis tersenyum. "Kenapa kamu bertanya untuk hal sejelas itu? Enam tahun sudah cukup lama untuk cinta tak berbalas. Kumpulkan keberanianmu dan nyatakan perasaanmu."
Milana tertawa tipis, ironis bahwa selama ini ia sudah menyatakan cintanya berkali-kali dan sudah terlalu sering.
"Kalau itu, aku sudah sering melakukannya karena di antara kami, akulah yang lebih mencintainya. Aku yang terang-terangan mengatakan aku butuh dia." Rasanya Milana ingin menangis jika selama ini ia bahkan melawan ayahnya hanya untuk bisa hidup berdampingan dengan Nathan.
"Karena kamu nggak pernah minta jawaban. Sama saja dengan kamu nggak ingin mengakhiri perasaanmu untuk dia."
Milana terkesiap. Ya, dia tahu bahwa Nathan mungkin tidak memiliki perasaan suka sebesar Milana menyukai Nathan, tapi asal Nathan tidak pernah berkata "TIDAK" Milana seolah hidup dengan harapan palsu bahwa suatu hari, ia bisa menaklukkan Nathan. Kenyataannya, Milana terlalu pengecut untuk menanyakan perasaan Nathan untuknya. Milana takut terluka, takut kehilangan harapan.
Seperti yang dikatakan Alexis, ketakutan ini akan membawa bencana di arena skating andai Milana kembali berkompetisi di kancah internasional.
"Sepertinya kamu jelas nggak ingin mengakhiri cinta sepihakmu. Apa sebelumnya kamu pernah pacaran?"
Milana menggeleng lagi. Ada perasaan malu saat laki-laki di hadapannya terlihat syok dengan kenyataan bahwa Milana sama sekali minin pengalaman tentang percintaan.
"No way! Kamu belum pernah pacaran? H-how?" Alexis tertawa. Jenis tawa yang takjub seolah Milana adalah keajaiban langka yang membuat orang terpana.
"Karena aku sibuk berlatih. Aku nggak sempat bergaul dengan anak laki-laki. Entahlah, sejak kecil orangtua dan kerabatku hobi menjodoh-jodohkan anak mereka. Kami terbiasa melihat sepupu dan temanku menikah karena dijodohkan. Sejak itu aku tahu, pacaran itu buang-buang waktu karena pada akhirnya orangtua yang menentukan siapa jodohku." Milana tak sengaja mengeluhkan keluarganya.
"Maaan, apa orang Asia semuanya seperti itu? Atau hanya di lingkup keluargamu yang adalah kalangan konglomerat?"
"Keduanya."
"Meski begitu, tetap bukan alasan orang sepertimu tidak bisa bersenang-senang. Aku rasa kamu perlu perspektif baru tentang cinta dan hubungan manusia."
"Seperti?" Milana kembali bertanya.
"Seperti menjalin casual relationship. Kalau kamu tahu pada akhirnya orangtuamu lah yang menentukan jodohmu, kenapa kamu harus segigih itu mencintai satu laki-laki?"
Milana terdiam lagi. Kenapa katanya? Tentu saja karena Milana sangat mencintai Nathan.
"Just stop what you're thinking right now. Apa yang kamu butuhkan sekarang bukan cinta yang melukaimu dan bikin kamu hancur. Pilihan ada padamu, mengakhiri cinta sepihakmu dengan kalian berdua jadian atau ditolak. Lalu diskusikan apa yang perlu kalian lakukan untuk bertahan dalam sebuah hubungan. Tapi jika ditolak, maksimal dalam seminggu kamu mengobati patah hati, setelah itu you will back to business. Can you do that?" Alexis menggenggam tangan Milana. Membuat Milana merasa perlu memikirkan kembali bagaimana ia akan mengatasi perasaannya.
"Apa yang kalian lakukan?"
Seseorang menyela percakapan serius Milana dan koreografernya. Milana terkejut melihat sosok Nathan kini berdiri di sebelah mejanya, menatap tangan Alexis yang menyentuh punggung tangan Milana. Wajah Nathan tidak terlihat senang.
Dalam kondisi biasa, Milana pasti akan menarik tangannya supaya Nathan tidak salah paham. Tapi kata-kata Alexis terasa terngiang-ngiang di telinga tentang bagaimana ia perlu berhenti menyiksa diri dan perlu berhenti sejenak.
Entah keberanian dari mana, Milana membalas genggaman tangan Alexis. Bagi Nathan, sekarang ini Alexis terlihat sebagai pria muda yang tertarik dengan Milana. Bagaimana kalau Milana sepenuhnya membuat Nathan salah paham?
Apa yang akan dilakukan Nathan kalau tahu seseorang memiliki perasaan untuk Milana?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/277892827-288-k566674.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE ME, TOUCH ME
Romance18+ Sebagai atlet figure skating berbakat dan calon pewaris perusahaan kosmetik ternama, Milana Esanatmadja memiliki segalanya. Cantik, muda, berprestasi dengan berhasil membawa pulang medali perak dari olimpiade musim dingin. Peseluncur wanita yang...