44. The Plan

148 15 0
                                        

"Selesai. Semua sudah selesai. Milana nggak akan bisa kembali berseluncur lagi. Semua ini terlalu berat buat dia kembali bangkit dalam waktu cepat. We're going to lose our chance." Coach Anita berjalan mondar-mandir sambil mengeluh. Wanita itu tampaknya sudah nyaris menyerah.

Sudah dua minggu berlalu sejak Milana berkabung karena tragedi yang membakar rumah keluarganya dan menewaskan ayahnya. Tidak ada tanda-tanda Milana akan kembali bangkit sementara persiapan untuk kejuaraan Grand Prix Series sudah berjalan.

"Tidak. Sebaiknya kita jangan menyerah. Masih ada waktu sebelum kita mengonfirmasi Milana bisa bertanding," sahut Alexis, yang juga sama cemasnya dengan Coach Anita.

"Bagaimana caramu meyakinkan dia? Ah, aku benci ini... Kenapa semua terjadi di saat kita sudah persiapan matang untuk berangkat ke Jepang."

"Pasti ada cara. Tenanglah. Ini belum selesai."

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Bahkan Milana saja nggak menjawab panggilan darimu kan? Padahal kamu bilang kalian pacaran."

Mendengar itu Alexis menghela napas. Kepalanya terasa berdenyut.

"Tenanglah sedikit. Milana butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku yakin dia nggak akan menyerah semudah itu."

Meski terdengar meyakinkan, sejujurnya Alexis tidak tahu cara apa yang akan ia gunakan untuk meyakinkan Milana kembali berseluncur. Jangankan untuk melaju ke Grand Prix Final dan menjadi juara, bahkan untuk mengikuti series event-nya saja rasanya adalah hal yang sangat jauh.

Alexis termenung di dalam mobilnya. Ia tidak tahu lagi bagaimana mendekati Milana. Menyatukan kembali kepingan hati gadis itu yang telah hancur berkeping-keping bukan pekerjaan mudah. Ia mungkin membutuhkan bantuan orang lain, dan satu-satunya sosok yang mengenal Milana dengan baik adalah Risa.

Alexis pun mencoba menelepon sahabat Milana itu.

"Halo," sapa Risa.

"Ini aku, Alexis, pelatih sekaligus koreografer Milana."

"Ya aku tahu.... Si tampan asal Rusia yang berpura-pura jadi kekasih Milana."

Alexis menghela napas. Ia sudah menduga Milana mungkin membocorkan satu atau dua rahasia pada sahabat baiknya.

"Sepertinya kamu tahu banyak tentang Milana. Aku butuh bantuanmu. Waktu kami tinggal sedikit dan aku butuh Milana kembali on track untuk persiapan kompetisi Grand Prix." Alexis tidak berbasa-basi.

"Sepertinya itu akan sulit. Milana belum bisa sepenuhnya kembali berseluncur. Dia dihantui penyesalan besar karena membangkang dari ayahnya yang memintanya pensiun dari figure skating. Kamu pikir kamu bisa membuatnya yakin bahwa kembali berkarir sebagai figure skating adalah pilihan tepat?"

Jawaban Risa cukup masuk akal, tapi sedikit saja, Alexis berharap menemukan celah yang membuat Milana mengurungkan niatnya mundur dari skating. Tidak setelah kesempatan menjadi juara sudah di depan mata.

"Aku perlu bicara denganmu. Bisa kita ketemu di suatu tempat?" tanya Alexis. "Please... Kalau kamu peduli tentang sahabatmu, kamu tahu skating sangat penting baginya. Dia mungkin kehilangan ayah dan orang yang dia sayangi, tapi kalau sampai dia kehilangan skating juga, kamu tahu sendiri dia akan seperti apa. Depresi tidak berkesudahan."

Terdengar embusan napas dari Risa.

"Baik. Temui aku di sebuah kafe dekat arena skating. Aku ke sana dalam setengah jam."

"Oke, kutunggu."

Alexis buru- buru menyalakan mesin mobilnya dan menyetir sampai di sebuah kafe yang disebut Risa.

Kira-kira dua puluh menit kemudian, Risa datang dan menghampiri meja Alexis.

"Pesanlah makan. Aku akan mentraktirmu," ucap Alexis memanggil pelayan.

"Sori, aku nggak bisa lama. Aku harus menemani Milana di rumah lama milik ibunya. Sejak Nathan menghilang dan ayahnya meninggal, Milana nyaris tidak diizinkan meninggalkan rumah," ujar Risa dengan wajah penuh penyesalan.

"Apa... Milana baik-baik saja?"

"Mana mungkin dia baik-baik saja. Aku belum pernah melihat dia mengalami mental breakdown separah ini."

Alexis mengangguk-angguk. Sedikit banyak ia sudah memperkirakan jawaban itu.

"Tunggu, kenapa kamu malah menghubungiku? Kamu kekasihnya kan?" tanya Risa lagi.

"Kekasih palsu, maksudmu? Kamu sudah tahu itu cuma pura-pura..."

"Too bad, padahal kalian cocok dan aku mendukungmu. Terutama setelah aku tahu kamu menawarkan diri jadi pelatih dan koreografernya meski sebelumnya kamu banyak menolak tawaran skater lain."

Alexis berdecak. Tampaknya sudah tidak ada rahasia lagi tersembunyi di tangan Risa.

"Aku penasaran, apa kamu sungguh-sungguh menyukai Milana?" todong Risa tiba-tiba.

"Tentu saja aku menyukainya. Dia berbakat dan punya potensi sebagai juara."

Risa mendengus, "Bukan itu maksudku. Apa kamu menyukainya dengan maksud mendapatkan hatinya? Menyukai sebagai seorang wanita? Dengan sosok sefenomenal kamu, kamu bisa mendapatkan uang dari melatih atlet figure skater yang jauh lebih berbakat dibandingkan Milana. Rusia adalah gudang benih-benih skater ternama bukan? Kenapa kamu malah memilih jauh-jauh ke Indonesia. Apa alasanmu sebenarnya?"

Alexis tidak menjawab. Ia memainkan cangkir kopinya. Tidak menyangka ia akan mendapatkan pertanyaan semacam ini dari sahabat Milana.

"Aku bicara denganmu untuk membahas solusi masalah Milana, kenapa percakapan ini jadi mengarah ke urusan pribadiku?" protes Alexis pelan.

"Oke. Tidak perlu dijawab kalau kamu tidak nyaman, tapi setidaknya... Aku perlu tahu kalau kamu melakukan ini karena kamu memang memikirkan Milana, bukan memikirkan dirimu sendiri. Betul kan?" tanya Risa lagi.

Alexis menatap lurus ke arah Risa.

"Aku bisa menjamin satu hal. Aku berada di sini karena memikirkan kebaikan Milana. Aku nggak akan bisa tenang dan kembali ke Rusia kalau tujuanku belum tercapai. Menjadikan Milana sebagai juara. I want to see it with my own eyes."

"Dan kenapa kamu menginginkannya? Kalau Milana memutuskan untuk berhenti total sebagai sebagai atlet figure skating, apa yang akan kamu lakukan?"

Alexis tersenyum.

"Dia boleh berhenti atau pensiun, tapi setelah aku menjadikannya juara. Dengan begitu, Milana akan mengingatku. Mengingat dengan jelas seumur hidupnya, siapa yang berada di sisinya saat dia mencapai podium juara. Itu adalah sebuah kehormatan besar dibandingkan sebagai kekasih."

Risa balas tersenyum. Mengangguk-angguk.

"Kamu punya obsesi yang aneh. Tapi baguslah, setidaknya obsesimu itu baik untuk Milana. Yang jadi masalah, apa kamu sanggup mendampinginya setelah ditimpa masalah bertubi-tubi? Ketika yang Milana pikirkan selalu Nathan, Nathan, dan Nathan."

Alex mendesah. Ia pun mengakui itu bagian tersulit saat meyakinkan Milana untuk kembali berseluncur.

"Dia butuh Nathan, itu kan maksudmu?" tanya Alexis.

"Yap. Dan sekarang Nathan seperti orang hilang."

Baik Alexis dan Risa seperti menemui jalan buntu. Bagaimana mereka akan mengisi peran yang hanya bisa dimainkan oleh Nathan.

"Kecuali kalau ada seseorang yang bisa menggantikan Nathan," ucap Risa.

"Percayalah, aku sudah mencobanya.... Bersamanya hampir 24 jam sehari nggak cukup membuat Nathan pergi dari pikiran Milana," keluh Alexis.

"Itu karena kesan Nathan di benak Milana begitu kuat. Nathan sosok sempurna di matanya. Kalau kamu harus menyingkirkan Nathan dari kepalanya, mau tidak mau kita harus menghancurkan image Nathan. Apa kamu punya ide?"

Alexis serta merta teringat sosok yang bertengkar dengan Milana di kamarnya siang itu.

"Bisakah kamu mempertemukan aku dengan Jasper?"

***

LOVE ME, TOUCH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang