28. Toxicated

252 28 0
                                    

Milana berjalan cepat dengan sepatu tumit tingginya berkelotakan di jalan raya setelah meninggalkan lokasi pernikahan Jasper – Tatiana. Seluruh pandangan orang-orang yang lewat terarah padanya, seolah mereka pun sama terkejutnya melihat sesosok perempuan mengenakan gaun kuning pudar berjalan sendirian dengan riasan yang luntur karena air matanya tidak berhenti mengalir. Milana sudah tidak peduli lagi dengan tatapan orang. Hatinya sudah terlanjur terluka dengan ucapan orang yang ia kira menyayanginya.

Sesaat, ia merasakan pundaknya menghangat. Seseorang menyelimuti bahunya yang terbuka dengan sebuah jas laki-laki. Milana pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke sosok yang memberikan jasnya. Entah kenapa, melihat sosok Nathan yang berdiri bak seorang pangeran pun tidak membuat Milana senang. Ia terlanjur terluka oleh kata-kata laki-laki itu. Milana dengan sengaja menurunkan jas itu jatuh dari bahunya dan lanjut berjalan dengan cepat.

"Milana!" seru Nathan, berusaha menyusulnya.

"Pergi! Kenapa kamu repot-repot menyusulku? Aku nggak butuh simpatimu," ucap Milana dengan sinis.

Nathan meraih lengannya dan membuat Milana berbalik arah. Milana mencoba melepaskan diri dan memberontak, tapi sayangnya genggaman Nathan lebih kuat. Pria itu kembali membungkus tubuh Milana dengan jasnya lalu menarik lengannya.

"Lepaskan! Aku nggak mau kembali ke pernikahan sialan itu!" Milana berseru dan nyaris berteriak. "Lepaskan atau aku akan berteriak," ancam Milana, kali ini dengan suara keras dengan maksud supaya Nathan terganggu dengan pandangan orang dan bersedia melepaskan tangan Milana.

"Aku nggak akan membawamu kembali ke acara itu. Kamu butuh menenangkan kepalamu dan artinya kita harus pulang." Nathan sama sekali tidak melonggarkan genggamannya dan berjalan menuju mobil sekalipun jaraknya cukup jauh. Seruan dan racuan Milana tidak dipedulikannya.

Meski dengan susah payah, akhirnya Nathan berhasil memaksa Milana masuk ke mobil dan duduk tenang meskipun gadis itu memasang wajah marah. Nathan menutup pintu di samping Milana dan berputar menuju ke pintu pengemudi. Nathan mengaitkan sabuk pengaman untuk Milana karena ia tahu gadis itu menolak bicara padanya.

"Kamu pasti tertawa kan? Karena dugaanmu sangat tepat, aku memang mencuri spotlight dari Tatiana." Milana membuka percakapan dari suasana yang senyap. Nathan melirik ke arah Milana yang masih tampak gugup dengan mata sembab seolah ia sudah lelah menangis.

"Dugaanku memang tepat, tapi aku sama sekali nggak senang. Kalau aku tahu akan begini, aku nggak akan mengizinkanmu datang."

"Yeah dan itu yang diinginkan Milana. Dia akan semakin menjauhkan aku dari keluargaku sendiri. Meski aku muncul pun, aku cuma menyakiti mereka." Milana mendengus, mengingat bahwa kata-kata yang diucapkan ayahnya masih terasa menyakitkan. Sebagian besar tamu adalah kerabat keluarganya, tapi hampir tidak ada satu pun yang membela Milana. Tidak juga laki-laki yang tengah menyetir di sampingnya. Mengingat tuduhan Nathan beberapa jam lalu pun masih menyakitkan.

"Aku minta maaf," ucap Nathan tiba-tiba.

"Kenapa minta maaf? Kamu benar dan aku yang salah. Semua orang juga bisa melihat." Milana berkata acuh tak acuh.

"Singkirkan dulu benar atau salahnya, aku cuma minta maaf karena menuduhmu tanpa mencari tahu alasan dibalik tindakanmu. Kenapa kamu nggak memberitahuku?"

"Untuk apa? Kamu toh tetap akan menghakimi aku."

"Aku nggak akan melakukan itu. Kalau aku tahu, aku nggak akan mengizinkanmu pergi dari apartemenmu hari ini. Kamu mengerti tidak? Tatiana memang keterlaluan karena dia berlaku licik dengan memanfaatkan situasimu, tapi dia tetap keluargamu. Anak dari ayahmu. Menyakitinya sama saja kamu menyakiti diri sendiri. Dan, aku... kalau kamu tanya, aku akan berusaha menghalangi usahamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Apa kamu nggak mengerti juga?"

Milana terdiam. Jauh di dasar hatinya, ia menunggu Nathan mengucapkan sesuatu yang membesarkan hatinya. Meski yang baru diucapkan bukan sebuah kata-kata penghiburan, entah kenapa Milana jadi lebih tenang.

"Kalau kamu sudah tenang, kembalilah ke acara resepsi dan minta maaf pada ayahmu, tapi kali ini kamu butuh mengganti gaunmu dengan sesuatu yang lebih tenang."

Milana mendengus, "Kamu masih saja memprotes soal gaunku. Apa gaun ini sedemikian buruk di matamu?"

"Ya."

"Dasar brengsek."

Selebihnya suasana kembali sunyi sampai mobil berhenti di parkiran basement apartemen Nathan dan Milana. Milana membuka pintu tanpa menunggu mobil benar-benar berhenti. Nathan memaki diri sendiri karena ia tidak jujur dengan diri sendiri. Setelah Nathan mencabut kuncinya, ia buru-buru menyusul Milana yang sepertinya tidak ingin mereka menaiki lift yang sama. Dengan kecepatannya, Nathan berhasil membuka pintu lift sebelum lift yang dinaiki Milana mulai naik. Milana masih menampakkan wajah dingin dan enggan menatap mata Nathan. Bahkan ketika lift sampai di lantai 10, mereka sama-sama tidak saling bicara.

"Milana..."

Nathan mencoba memanggil gadis itu, tapi Milana mengabaikannya hingga dia sampai di pintu apartemennya, membuka kunci dan seketika menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan Nathan yang masih dihinggapi perasaan bersalah.

Nathan pasrah dan memutuskan untuk membiarkan Milana tenang. Ia pun masuk ke dalam apartemennya sendiri, memikirkan cara untuk minta maaf kembali nanti jika gadis itu sudah tenang. Namun, lima menit setelah ia mengira semuanya sudah selesai, pintu apartemen Nathan diketuk. Saat membuka pintu, Nathan melihat siluet gadis itu dengan gaun yang membuatnya gila menyodorkan sebuah jas milik Nathan.

"Aku kembalikan ini, meski jas ini nggak terlalu berguna, tapi sudahlah... yang penting aku sudah menyelamatkanmu dari rasa malu karena berjalan dengan seseorang yang mirip pelacur," ucap Milana. Intonasi bicaranya begitu dingin dan tajam.

Nathan terdiam, hanya mengamati tangan berkulit pucat yang kontras dengan warna hitam jas milik Nathan. Ia mungkin akan menyesali ini, tapi hari ini ia sungguh tidak tahan dengan situasi di antara dirinya dan Milana.

Ditariknya lengan gadis itu mendekat dan masuk ke apartemennya. Satu tangannya menutup pintu apartemen dan satu tangan lagi merangkul tubuh Milana mendekat ke pelukannya, lalu mendorong Milana hingga punggung gadis itu membentur pelan dinding di belakangnya.

"Kamu tanya apa aku benar-benar tidak suka dengan gaunmu? Kamu mau dengar yang sebenarnya?" tantang Nathan.

Milana terdiam, wajahnya tampak ketakutan dan bingung.

"Kamu nggak tahu saat kamu muncul dengan gaun ini, aku bisa menggila. Apa gaun ini buruk? Tidak. Kenyataannya kamu sangat cantik dan sangat memesona dengan gaun ini, tapi bukan jenis kecantikan yang ingin aku bagi dengan orang-orang yang hari ini menatapmu. Kenapa kamu nggak mengerti juga kalau kamu terlihat berbahaya? Aku membayangkan laki-laki lain yang juga berpikiran sama sepertiku dan itu yang membuatku gila... bukan karena gaun itu buruk, tapi karena.... aku nggak tahu apa yang bisa aku perbuat dengan kamu memakai gaun ini di hadapanku."

"Apa? Apa yang akan kamu lakukan?" Milana bertanya lirih.

Nathan benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Ia menyentuh pipi Milana, pelan ia mengusap pipi gadis itu hingga lehernya. Lalu dengan cepat, Nathan menempelkan bibirnya di permukaan bibir Milana. Ia sudah menginginkan ini sejak berjam-jam lalu, bagaimana tubuh Milana yang terlihat menggoda dengan belahan dada rendah itu berada di pelukannya. Dan gadis ini tidak henti-hentinya memprovokasi kewarasan Nathan.

Ciuman Nathan makin lama makin menuntut dan anehnya, Milana seolah menyambutnya seiring dengan bibirnya yang membuka, meminta bibir Nathan menjelajahi lebih dalam.

Sialan. Nathan sudah tidak bisa lagi mundur dari jebakan cinta Milana.


LOVE ME, TOUCH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang