17 : SRZGFH

616 78 4
                                    

Sandi Atbash

****

Bab 17

.


Ceklek!

"Sorry, guys, gue lupa kalau hari ini kita ada meeting."

Arash memasuki rumahnya dengan cekatan. Perawakannya sudah sangat lusuh dan berantakan karena seharian keluar. Iya, benar. Dia keluyuran seharian ini setelah selesai upacara kelulusan di sekolahnya. Katanya, kasih reward ke diri sendiri karena mau berjuang. Itu terdengar retoris.

"Meeting, meeting, gaya lo!"

Dia tersenyum cengir menanggapinya. Matanya kini terfokus dengan menu-menu makanan yang tersaji di meja makan. Tanpa izin, dia nekad ingin menyeruput es campur yang sudah bisa dirasakan pasti itu rasanya sangat segar dan manis.

"Wih enak nih banyak makanan. Pesta penyambutan gue jadi lulusan terbaik, ya?" Arash mengangkat tangan sambil memamerkan pialanya.

"Eh, jangan dimakan, tolol!" sentak teman-temannya. "Seenggaknya lo hargai teman-teman lo yang puasa!"

"Dikiit aja! Gue dehidrasi sumpah!" rengeknya, mengelus bagian tenggorokan yang terasa kosong.

"Nggak boleh! Itu buat buka puasa kita! Lebih baik lo bersihin diri lo yang kotor banget kayak tong sampah. Heran gue sama lo, nggak ada bersih-bersihnya sama sekali!" cerocos Farida.

"Suka-suka guelah! Mau gue kotor, bersih, wangi... urusannya sama lo apa?! Nggak usah ngatur hidup orang kalau lo nggak mau diatur!"

Nggak usah ngatur hidup orang kalau lo nggak mau diatur. Rasanya kalimat penegasan seperti itu sudah menjadi kata-kata mutiara bagi setiap orang.

"Iya, deh. Si paling nggak mau diatur!" sindir Raihan. "Terus kenapa lo pulang sampai sore? Setahu gue upacara kelulusan tuh siang udah selesai. Sengaja mau bikin kita nunggu lama?!" lanjutnya menegasi.

Tadi itu...

"Sel, mau ikut aku nggak?"

"Ke mana? Cuma kita berdua?"

"Iya.

...mungkin akan jadi hari yang sampai kapan pun akan selalu diingat dalam kepalanya. Satu hari yang sebetulnya tidak layak untuk disebut sehari. Hanya beberapa jam, ditemani dengan riuhnya angin yang perlahan menggulung ombak, menanti cakrawala yang kini warnanya makin indah dengan semburat jingga yang terlukis.

Sekejab itu, rasanya masih mimpi.

"Kalau suatu saat nanti kita jauh dan nggak pernah ketemu? Apa kamu bakal ingat aku terus, Sel?"

Sela mengayunkan kakinya dari atas dermaga. Tersimpul senyum indah dari bibirnya yang kian pucat.

"Ingat." Sela menjawabnya. "Kamu kayak tahu aja kalau aku bakalan pergi."

"Kenapa?"

"Semua orang pasti pergi, Arash. Kamu juga. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa lihat kamu di sini. Jangan lupain aku juga, ya."

"Kapan aku bisa lupa sama kamu? Nggak akan!"

Bahkan melihat mereka pun, ombak juga iri. Mereka bisa sama-sama saling berbicara, mereka bisa bertatap begitu lama, atau bisa juga saling mengecup kening sebagai bukti untuk menitipkan rindu. Kalau salah, mungkin bukan ombak yang iri. Barangkali si senja. Dia pergi tanpa bisa mengucapkan kalimat perpisahan dengan langitnya. Terasa sakit.

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang