48 : End of a Promise

496 81 21
                                    

Dulu Arash pernah bermimpi datang ke sebuah tempat yang indah. Dulu sekali. Dia berlari kegirangan sambil menarik benang layangannya. Di sudut tanah lapang yang luas, seorang pria tersenyum menyambutnya dengan pelukan, sampai-sampai layangan itu lepas kendali dan terbang bebas. Pada saat itu, dia hanya punya dua pilihan, mengejar layangannya atau menerima pelukan sang pria. Tapi dia justru memilih mengejar layangan itu. Karena pikirnya, setelah mendapatkan layangannya kembali, dia masih bisa menemui sang pria lalu menerima pelukan itu.

Pikirannya yang terlalu naif, menghancurkan harapan satu-satunya. Dia berdiri sendiri di luasnya tanah lapang, tanpa pelukan bahkan senyuman. Namun setelah itu dia mengerti, itu bukan sebuah mimpi. Hari dimana dia kehilangan layangannya dan pelukan sang pria, adalah hari ketika dia harus menerima bahwa ayahnya harus pergi.

"Baik-baik di sini sama bunda! Nanti Arash boleh cari Ayah kalau sudah besar!" Itu kalimat yang terakhir dia dengar hari itu.

Pertanyaannya kini bukan tentang di mana ia harus mencari. Namun tentang "bisakah kita bertemu lagi?"

"Pulanglah! Pulang demi dia." Suara isakan bunda jelas terdengar di telinga Sabita. Gadis itu sejak tadi menggenggam erat jemari seseorang yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Sesekali, gadis kecil itu bersenandung. Berharap seseorang itu mendengarnya dan bangun.

"I remember your promise. Saya tidak akan ingkar, Nita."

"Lupakan janji itu, William! Saya tahu, saya memang salah! Tapi tolong kembali untuk dia!"

Bagi William, janji masih tetap menjadi janji. Bagaimana mungkin dia akan lupa ketika dengan jelas Nita mengatakan untuk jangan pernah datang kembali menemui anaknya. William tidak bodoh. Laki-laki setia mana yang bisa dengan mudah mengingkari sebuah janji?

"Dia berusaha untuk bunuh diri, William. Sekarang kondisinya sedang tidak baik. Dia butuh kamu. Datang kemari, dan kami pasti akan menyambutmu!"

"Saya kira dia akan bahagia bersama kamu, Nita!"

"Dia masih anak kamu, William! Pulanglah!" Nada bicara Nita sudah terisak parau. Sekuat apapun dirinya memohon, orang yang lurus seperti William akan sulit dibelokkan. Pendiriannya kuat. Janjinya tidak pernah main-main. Bahkan, seorang William tidak akan pernah menunjukkan jawaban yang jelas pada permasalahan apa pun.

"Jangan mengemis ampun, Nita! Saya tahu peran saya sebagai seorang ayah. Tapi kamu juga harus bisa bertanggungjawab dan memperbaiki atas apa yang sudah kamu kacaukan!"

"Tapi untuk memperbaiki itu semua saya butuh kamu."

"Tidak. Kamu sendiri mampu untuk perbaiki kesalahan kamu. Bukankah kita sudah hidup masing-masing, Nita?"

Nita masih diam menatap ke arah jendela setelah beberapa menit panggilan itu berakhir. Dadanya sesak. Dunianya seakan runtuh. Kadang satu pertanyaan gila yang mengganjal di pikirannya, mengapa semesta bisa setega itu pada perempuan yang butuh cinta seperti dia?

Nita hanya butuh cinta. Dia ingin dicintai oleh orang yang dirinya cintai pula. Namun orang itu bukan William. Dia mengaku bahwa dia tidak pernah mencintai William semasa hidupnya. Nita seutuhnya hanya mencintai Juna. Dia egois pada perasaannya sendiri, hingga menyia-nyiakan kesetiaan William yang dahulu amat mencintainya.

Andai dulu Nita mengizinkan William membawa Arash ke Milan, tinggal bersama pria itu dan bukan dirinya, mungkin anak itu bisa merasakan seperti itulah kebahagiaan.

Tapi Menyesal pun tak cukup. Berandai juga tak mampu mengubah semuanya.

"Bunda." Suara lembut gadis itu memanggilnya. "Abang udah bangun."

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang