46 : Delusi

473 69 20
                                    

"Tangan lo gimana? Udah di obatin?"

Hari itu menjadi hari paling buruk yang tidak pernah Nesya duga. Itu semua terjadi di luar kendalinya. Sebab Arash yang bisa membabi buta dan berkhianat pun juga bukan kuasa Nesya untuk mengetahui itu. Meski ada kelebihan yang dimilikinya, tapi tetap saja, dia bukan Tuhan yang mampu mengetahui segalanya. Dia hanya manusia yang diberikan kemampuan yang sendiri tidak mengerti bagaimana cara menggunakannya.

"Santai aja, nggak apa-apa kok."

Malam itu Raihan mampir sebentar ke rumah Nesya. Sisanya sekarang hanya mereka berdua. Perihal Sofia yang kecewa, itu jadi beban pikiran buat Nesya. Dia tidak pernah sedikit pun mencoba memanfaatkan Sofia atau teman-teman yang lain. Karena sejatinya Nesya hanya meminta bantuan, lalu mereka menyanggupinya. Akankah itu menjadi kesalahannya jika semua berakhir seperti ini?

"Sekarang gimana? UTBK udah tinggal beberapa hari lagi, Rai. Kayaknya kita udah kalah deh. Dan pasti gue nggak bakal lolos SBMPTN. Gue takut, Rai, gue takut orang tua gue marah." Nesya terisak. Detik itu juga, Raihan langsung mendekapnya.

"Kita belum kalah!"

Kecuali jika kapal mereka sudah karam sebelum berlayar ketepian, dan mereka mati tenggelam

"Gue bakal cari cara buat memperbaiki semuanya. Jangan nangis, Nes!"

"Apa lo bakal benci gue, Rai? Kayak Arash dan Sofia benci gue? Apa lo juga bakal pergi?"

"Nggak akan. Gue bakal bantu lo, sampai semua selesai." Laki-laki itu melepaskan pelukan, menggenggam tangan Nesya, mencoba menyalurkan energinya untuk gadis itu bertahan. "Gue sayang lo, Nes!"

Ritme jantung Nesya sudah tidak beraturan. Dia melihat sorot mata Raihan yang mulai berkaca. Genggaman itu semakin erat dia rasa. Tapi yang terbayang di kepalanya bukan tentang perkataan Raihan tadi. Nesya justru kembali memutar memorinya ketika hari itu terjebak hujan dan Arash memeluknya. Tentang hatinya yang mendadak kaku saat laki-laki itu bilang akan tetap setia pada kekasihnya. Tanpa semua orang sadar, di sana Nesya terluka. Namun, akan lebih terluka lagi saat dia mendengar Raihan mengatakan kalimat yang tidak pernah mau dia dengar darinya.

"Kenapa gue, Rai?"

"Gue sayang lo. Banget. Tapi rasa sayang gue nggak kelihatan, ya?" Laki-laki itu terkekeh. "Iyalah nggak kelihatan. Orang lo anggap rasa sayang gue ini dalam artian lain. Padahal gue sayang sama lo seperti gue sayang ke adik gue sendiri."

Demi apa pun Nesya malu. Dia sudah salah mengartikan rasa sayangnya. Atau hal yang sangat tidak mungkin jika sosok seperti Raihan jatuh cinta padanya. Sangat tidak mungkin. Karena untuk jatuh cinta saja dia tidak bisa.

"Gue emang nggak pernah tahu seperti apa adik gue. Gue nggak pernah lihat rupanya, gue nggak tahu seperti apa suaranya, bahkan suara tangisannya waktu bayi saja gue lupa. Tapi sejak lihat lo, sosok dia seperti ada di diri lo, Nes."

Ketika hari itu Raihan pernah memintanya menjadi adiknya, dia tidak pernah bohong akan hal itu. Dia menyayangi adiknya, dan dia menyayangi Nesya.

"Lo boleh kok, anggap gue adik lo. Tapi tolong jangan ketawain gue, ya, karena udah mikir yang tidak-tidak soal rasa sayang lo. Gue malu."

Nesya mati-matian menyembunyikan raut wajahnya. Tapi ekspresi Raihan justru seperti meledeknya. Untungnya, Bi Tami tiba-tiba muncul---ART yang ayah janjikan untuk membantu Nesya di rumah---sambil membawa telepon genggamnya.

"Mbak Nesya, ada telepon dari bapak."

Belum apa-apa saja Nesya sudah takut. Ayah pasti akan marah jika tahu Nesya sudah dikeluarkan dari tempat bimbel.

"Hallo, Yah?"

"Gimana hasil try out terakhir kamu?"

Hal yang paling Nesya benci. Seolah buat ayah, angka adalah segalanya. Lantas bagaimana Nesya memberitahu jika dia gagal mengikuti try out kelima?

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang