31 : Complicated

493 69 16
                                    

"Abang tau cerita naga petir nggak?"

Arash spontan menoleh. Mengerutkan kedua keningnya.

"Itu loh naga yang bisa naik balon udara."

"Hah? Emang ada, ya? Kok ceritanya kayak nggak nyambung gitu."

Sabita memutar bola matanya kesal. Malam ini dia tidur di rumah Arash. Katanya gadis kecil itu rindu dengan papanya. Tapi dia cuma punya Arash, untuk menjadi tempat pelarian ketika rindu itu tiba-tiba berkunjung.

"Ada ceritanya. Ceritain ya ke Bita, biar Bita bisa tidur."

"Lagian kamu kenapa, sih, mau tidur di sini? Kan bunda jadi sendirian di rumah."

"Abang juga sendirian." Gadis itu menjawabnya dengan cerdas. "Rumah Abang lebih besar, rumah bunda kecil. Emangnya Abang nggak takut sendirian?"

Pertanyaan itu membuat Arash menekuk wajahnya lesu. Seolah, kalimat gadis kecil itu seperti sebuah sihir dengan mantra yang sangat kuat. Sihir itu sudah menyebar, memenuhi atmosfer. Rasanya seluruh ruang jadi abu-abu sekarang.

Jika ditanya takut, dia sungguh ketakutan. Tapi siapa seseorang yang mau menyelimuti rasa takutnya jika bukan dirinya sendiri?

"Jawab Bita! Abang takut nggak?"

Lagi-lagi, pertanyaan itu seolah menekan. Sampai membuat buliran air mata itu menetes.

Dia menjawabnya dengan suara getir, "ta-takut."

Tubuh Sabita bergetar. Dia mendekat ke pangkuan Arash dan perlahan mengusap air mata kakaknya.

"Abang... Abang kenapa nangis?" Suara Sabita pun tak kalah getir. Gadis itu ketakutan. Dia merasa bersalah. "Bita minta maaf kalau udah nyakitin Abang. Abang nggak suka Bita di sini, ya? Ya udah Bita pulang, ya!"

Laki-laki itu menarik tangan Sabita. Membawa tubuh gadis kecil itu dalam dekapannya. "Di sini aja, Sab! Abang suka kok Sabita di sini. Jangan pulang!"

"Tapi Abang nangis. Kenapa nangis?"

Enam tahun lamanya, rasa sakit ini terus dia tahan. Sesekali ingin lupa. Tapi memori itu tidak pernah mau lenyap dari pikirannya.

Di rumah ini, kejadian itu berlangsung.

"Minggu depan Arash ujian nasional. Nanti setelah dia lulus SD, aku mau kita pisah!" Wanita itu baru saja memasuki rumah setelah pulang kerja. Menghampiri seorang pria yang duduk di sofa.

"Dia akan ikut saya. Saya mau bawa dia ke Milan!" Pria itu membalasnya.

"Tidak! Arash ikut sama aku. Dia akan tinggal sama aku dan Mas Juna. Juga calon adiknya!"

William bukan orang yang suka kasar dengan wanita. Sekeras apa pun perlakuan Nita, pria itu hanya membalas seadanya. Bukan masalah jika Nita harus membentaknya setiap pulang kerja. Menikah dengan cara dijodohkan memang rumit. Tapi bukan berarti Nita bebas berkhianat dengan laki-laki bernama Juna. Atau lebih parahnya, William tidak pernah diberitahu soal itu.

Satu hal yang dia takutkan jika perpisahannya dengan Nita tetap berjalan adalah Arash. Sakit hati karena pengkhianatan Nita mungkin tidak akan seberapa dibanding sakit hati yang akan diterima oleh Arash.

Anak adalah korban; korban dari egoisme orang tua.

"Dan sebaiknya kamu tidak perlu lagi datang ke Indonesia menemui dia. Jalani hidup kita masing-masing."

Nita berlalu meninggalkan William. Tanpa dia sadari, ternyata anak laki-lakinya itu sejak tadi berdiri di samping lemari. Perasaan Nita pun mulai kalang kabut. Ditambah, anak itu meremas bajunya dan menangis.

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang