20 : 2xy + y = 20

559 96 3
                                    

jangan lupa buat vote ya. Gapapa kalo gak mau komen hehe :)

***

Sofia hari ini mendadak demam. Sejak kemarin malam, tubuhnya sudah tidak enak. Namun satu ketakutannya ketika pulang ke rumah adalah mama. Minggu ini belum jatahnya Sofia pulang, bisa-bisa mama marah kalau saja Sofia memutuskan pulang dengan alasan sakit.

Gadis itu meringkuk di sudut ruangan setelah selesai les. Dia tidak langsung ke asrama karena tubuhnya seperti sakit semua untuk di gerakkan.

Dia merintih parau.

Tapi teman-teman lesnya itu malah keterlaluan. Alih-alih bukannya menolong, mereka justru memaki-maki Sofia karena sering tidak ikut kelas dan keluar asrama tanpa izin.

"Lo tuh niat nggak, sih, Sof? Kasihan orang tua lo udah susah-susah cari uang buat masukin lo ke tempat bimbel. Untung tempat bimbel ini plus asrama. Coba kalau lo les di tempat lain, semua ini nggak bakal lo dapetin!"

"Pas udah sakit aja minta bantuan ke kita. Selama ini lo ngapain aja, hah? Kalau diajak ngomong nggak pernah jawab! Lo bisu?!"

Memangnya Sofia peduli ocehan mereka? Tidak.

"Balik sendiri ke asrama, jangan manja!"

Masih belum ada suara apa-apa dari gadis itu meskipun mereka memakinya terlalu keras. Toh, sebenarnya Sofia juga tidak minta tolong mereka untuk mengantarnya ke asrama.

"Stop, guys! Kasihan lagi sakit!" Seseorang itu menyambar begitu saja. Bangkit dari bangkunya mendekati Sofia.

"Lo mau ngapain?" Yang lainnya merasa terkejut begitu anak laki-laki itu menyentuh kening Sofia.

"Lo demam. Mau ke klinik nggak?" tawarnya

Sofia menggeleng.

"Yakin?" Laki-laki itu memastikan lagi sembari mengeluarkan termometer dari ranselnya. Mengecek berapa derajat suhu tubuh Sofia. "39 derajat."

Sofia makin gusar. Dia merebahkan kepalanya di atas meja.

"Gue tahu lo bisa ngomong! Tapi gue nggak peduli apa jawaban lo. Yang jelas, gue antar lo ke klinik." Tanpa aba-aba apa pun, laki-laki itu mengangkat tubuh Sofia. Membawanya keluar dari ruangan.

Kehidupan setelah lulus SMA ternyata adalah kehidupan yang sangat berat. Banyak sekali tuntutan dan paksaan dari orang tua. Mereka ingin anaknya sempurna. Mereka ingin anaknya punya cita-cita. Dan satu alasan pasti, supaya anaknya punya jaminan di masa tua. Tanpa mereka sadar kalau sikapnya yang begitu bisa merusak mental anaknya sendiri.

Aturan itu tidak patut dibenarkan. Siapa pun pelakunya. Karena anak bukanlah kelinci percobaan. Mimpi orang tua yang gagal tidak seharusnya anak yang membayar untuk mewujudkan mimpi itu. Hidup adalah pilihan. Dan setiap anak berhak memilih apa pun yang dia mau. Hidup dengan memenuhi ekspektasi orang tua, bukanlah hidup, tapi paksaan.

Bagi Sofia setelah lulus dari SMA Indonesia Persada, dia seperti mengulang kembali masa SMA keduanya di Tempat bimbingan belajar. Bahkan tidak pernah ada dalam wishlistnya bahwa dia akan dikirim ke asrama. Belajar selama 24 jam, pulang seminggu sekali. Alih-alih bukannya mendapat sambutan, justru setiap pulang hanya ada omelan dari sang mama.

Apa ini yang namanya hidup, Tuhan?

"Galih, kamu bisa kembali ke asrama. Sofia biar Ibu yang mengurus."

Laki-laki itu bernama Galih. Dan yang baru saja berbicara adalah Bu Lida, salah satu guru pembimbingnya sekaligus kepala asrama. Semua yang ada di asrama, sudah menjadi tanggungjawab Bu Lida, termasuk Sofia.

Galih mengangguk. Kemudia dia hendak meninggalkan ruang perawatan. Tapi tiba-tiba dia mendengar suara yang sebelumnya tidak pernah dia dengar di mana pun, memanggilnya.

"Hey, makasih, ya." Begitu katanya.

Dia menoleh. Tersenyum samar. "Sama-sama."

Oh, ya, lo kelihatan lebih manis kalau lagi ngomong.

"Lekas sembuh."

Dia berlalu lalang.

*

"Mau Ibu antar pulang?"

Sofia menggeleng.

Bagaimana mungkin Sofia pulang. Dia takut mama.

"Nanti mama marah. Sofia harus belajar lebih keras lagi. Supaya mama senang."

Semua itu, dia lakukan demi SBMPTN.

UTBK, lawan, pertarungan, skor, kampus impian, cita-cita, ekspektasi, harapan. Semua itu terasa jadi menakutkan. Seolah hidup hanya sebuah kompetisi yang harus Sofia menangkan.

Bayangkan, hampir seluruh anak di negeri ini, bertarung dalam kompetisi gila-gilaan. Siapa pun mustahil tidak cemas. Hanya 1:1000 kesempatan untuk mendapatkan kemenangan.

Dan lawan.

Lawan yang sesungguhnya bukanlah 1000 dari satu perbandingan itu. Tapi lawan yang sesungguhnya adalah diri sendiri.

"Bu, jangan kasih tahu mama, ya, kalau Sofia sering nggak ikut kelas. Jangan kasih tahu mama juga kalau Sofia sering keluar asrama diam-diam. Sofia takut, Bu. Sofia takut bikin mama kecewa."

Air mata Bu Lida hampir saja menetes sewaktu mendengar Sofia bercerita.

"Lain kali, kalau Sofia mau keluar asrama, harus minta izin. Jangan kabur. Terus kalau ngerasa lagi nggak enak badan, jangan dipaksakan buat belajar. Kan, Sofia bisa istirahat di kamar."

Sofia membayangkan, andai yang berbicara selembut itu adalah mama. Mungkin Sofia tidak akan merasa takut untuk pulang.

"Ibu nggak akan kasih tahu mama kamu."

"Makasih, ya, Bu Lida."

**

"Nanti mama marah. Sofia harus belajar lebih keras lagi. Supaya mama senang."

"Sofia takut, Bu. Sofia takut bikin mama kecewa."

Kalimat itu yang saat ini berputar dalam kepalanya. Atau mungkin alasan mengapa gadis itu sering terlihat murung, pendiam, itu karena takut.

"Strict parents ternyata," gumam anak itu setelah beberapa menit lalu selesai mendengarkan pembicaraan Sofia dan Bu Lida.

"Bumi berputar nggak cuma mengelilingi satu makhluk hidup. Dia berhak bahagia. Dia harus merasakan kebebasan."

Lalu, apa yang bisa membuat sang putri senang?



to be continued


Bab ini pendek banget hehe :)

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang