32 : Derajat Kebebasan

502 69 20
                                    

Dorr!

Suara cekikikan anak kecil beriringan dengan balon birunya.

Meletus.

Tapi hatinya tidak kacau seperti yang ada di lagu. Justru dia malah tertawa dengan hal receh yang pagi ini baru saja terjadi.

"Lagi, Kak, lagi."

"Cuma ada satu."

"Yah, katanya balonku ada lima?"

"Nanti beli lagi, ya."

Suara itu berhasil membuat penghuni rumah ini keluar. "Ngomong sama siapa, sih, Sab---lo ngapain di sini?"

Si laki-laki pembawa balon biru itu mengerjap. Dia memunguti sampah balon itu di lantai. Tersenyum cengir ke sang pemilik rumah. "Lo nggak baca grup emangnya? Back to mission, man!"

Arash baru tahu kabar itu. Semalam, dia sama sekali tidak mengecek ponselnya. Larut-larut dalam kesedihan membuatnya melupakan satu hal penting yang saat ini menjadi tujuannya.

"Ah, nggak tahu gue. Ya udah tunggu aja, gue mau nganterin bocil ini ke sekolah!"

Dia mengambil kunci motornya di atas nakas. Tangannya sudah menenteng helm full face warna kuning. Tapi yang menjadi fokus Sakha bukan ke helm atau pun celana kolor yang Arash pakai, tapi pada mata sembab yang dia yakin, pasti laki-laki itu semalam menangis.

"Bentar, Rash! Mata lo kenapa? Lo nangis, ya?" Sakha agak tertawa meledek. Ya, ini momen langka yang baru saja dia lihat. Lagi pula, pikirnya akan terlihat aneh jika laki-laki seperti Arash menangis. Padahal laki-laki juga manusia, kan?

Arash tidak terima dengan lawakan itu. Dia segera memakai helmnya, berusaha untuk menutupi wajahnya yang lesu dan mata sembab itu.

"Kak, sini Bita bisikkin!" Gadis kecil itu tiba-tiba menyahut. Meminta Sakha mendekat ke arahnya. Kemudian berbisik, "Abang kangen ayah. Dia semalam nangis. Kak Sakha mau bantuin Bita nggak?"

Sakha balik berbisik, "bantu apa, Bit?"

"Bantu Bita buat jagain Abang."

"Siap, bos." Dia mengacungkan jempol.

"Makasih Kak Sa---"

Brum!

Suara deru motor itu mengagetkan Sabita. Gadis itu sontak menoleh. Di luar sana, Arash sudah siap memanasi motornya untuk mengantarnya sekolah. "Buruan, Sab!"

"Iya, Bang!"

Mau bantuin Bita nggak? Bantuin Bita buat jagain Abang.

Kalimat Sabita memang seketika bisa menyihir siapa pun. Bahkan kali ini Sakha berhasil terhipnosis dengan kata-kata itu. Seolah, permintaannya bukan hal yang mudah untuk ditolak. Tapi Sakha pun tidak mengerti harus menjaganya bagaimana? Sementara, masalah yang Arash alami saja dirinya tidak tahu.

Hidup jadi manusia itu rumit.

*

"Gue boleh duduk di sini?"

Satu pertanyaan gila yang demi apa pun ingin Sofia hindari. Kalau bisa, kalimat tanya itu jangan sampai ada di dalam kamusnya. Kalau ada, buruan deh coret. Sebelum semua orang bertanya hal yang sama.

"Hari ini menunya ngebosenin, ya. Masa makan nasi, tapi lauknya mi. Karbohidrat sama karbohidrat jadi satu. Itu tuh salah satu kesalahan makanan orang Indonesia. Setuju nggak sama argumennya?"

Kantin asrama laki-laki dan perempuan memang jadi satu. Itu juga termasuk salah satu hal yang Sofia benci setelah pertanyaan retoris tadi. Atau yang lebih menyebalkan lagi, dialog orang yang lancang duduk di sampingnya itu sama sekali tidak penting. Sofia lebih suka sendiri, duduk di bangku paling pojok dengan alasan agar tidak satu pun orang mau mendekatinya. Tapi ternyata itu tidak berlaku untuk Galih.

UTBK : Misteri di Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang