Bab 114 - Obat untuk Ayu

191 18 1
                                    


Nanda melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya. Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita biasa.

"Hei, kamu pelayan pribadinya Roro Ayu, ya?" sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba menghadang langkah Nanda.

Nanda langsung mengangkat wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup terkenal.

"Siapa nama kamu?" tanya pria itu sambil memperhatikan wajah Nanda.

"Nindi, Tuan!" jawab Nanda sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun.

"Nindi? Kamu tinggi banget untuk seorang perempuan?" tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. "Kamu lebih cocok jadi model daripada jadi pelayan di keraton ini."

Nanda tersenyum manis menanggapi pertanyaan pria itu. "Terima kasih atas pujiannya, Tuan! Mohon maaf ...! Saya harus segera ke kamar Tuan Puteri untuk membawakan makanan ini. Dia sedang sakit, tidak boleh telat makan," pamitnya sambil melangkah.

"E-eh. Tunggu!" Pria itu kembali menghadang langkah Nanda.

"Ada apa, Tuan?"

"Ini obat oles mujarab dari keratonku. Obat ini sangat terkenal dan bisa menyembuhkan luka dengan cepat. Tidak semua orang bisa mendapatkan obat ini. Aku tahu, tubuh Roro Ayu pasti masih terluka karena cambukan di tubuhnya," ucap pria itu sambil menyodorkan botol mungil berbahan keramik ke hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak mata dan langsung menyambar obat tersebut begitu tahu kalau obat itu terkenal mujarab. Meski ia sudah mencoba melindungi tubuh Ayu menggunakan busa. Tapi tetap saja lima puluh cambukan yang menimpa wanita itu, meninggalkan bekas luka di tubuh dan lengan belakangnya.

Pria itu tersenyum puas menatap Nanda. "Sampaikan salamku untuk Roro Ayu! Bilang kalau Mas Enggar Dierjaningrat akan tinggal di sini untuk memastikan keselamatan dia."

"Baik, Tuan! Terima kasih ...!" ucap Nanda sambil bergegas melangkah pergi dengan cepat. Ia mendengus kesal sambil mencebikkan bibirnya. "Mentang-mentang keluarga ningrat dan bisa masuk ke sini dengan bebas, mau ngambil kesempatan ngambil perhatian Ayu? Hellow ...! Ada Nanda di sini. Aku nggak akan biarkan siapa pun deketin Ayu. Meski anaknya presiden sekali pun, langkahi dulu mayatku!" gerutu Nanda sambil menahan kesal.

Nanda langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

"Nanda?" Ayu langsung menutup tubuhnya saat ia sedang memperhatikan punggungnya yang masih memar karena terkena cambukan beberapa kali.

"Sakit, ya? Aku bawain obat oles buat kamu," tutur Nanda sambil menghampiri Roro Ayu dan menarik kain jarik yang menutupi punggung wanita itu.

"Nan, kamu lancang banget, sih!?" seru Ayu sambil berusaha menutup kembali tubuhnya menggunakan jarik yang ia kenakan.

"Ay, aku udah lihat semuanya! Ngapain sih masih malu-malu? Biar aku obatin lukamu," pinta Nanda sambil menarik jarik yang menutupi tubuh Ayu. Seketika, terjadi tarik-menarik antar mereka berdua dan tidak ada yang mau mengalah.

"LEPASIN!" teriak Ayu kesal sambil menarik jariknya.

Nanda mendengus kesal dan melepaskan jarik yang ditarik oleh Ayu.

Bruug ...!

"Aargh ...!" Ayu merintih kesakitan saat tubuhnya tersungkur ke lantai karena Nanda refleks melepas tarikan jariknya.

"NANDA ...! Kenapa dilepasin beneran!?" seru Ayu kesal sambil merintih kesakitan.

"Sorry ...! Sorry ...! Abisnya, kamu nyuruh aku lepasin," tutur Nanda sambil meraih kedua pundak Ayu dan membantu bangkit dari lantai.

"Iya. Tapi jangan dilepasin tiba-tiba juga, dong!" protes Ayu sambil memegangi punggungnya yang semakin sakit karena terbentur lantai.

Nanda terkekeh dan mengecup kening Ayu berkali-kali. "Jangan marah, dong! Aku nggak sengaja."

"Sakit, tau! Kamu tuh nggak ada puasnya bikin aku tersakiti?" protes Ayu sambil memonyongkan bibirnya.

Nanda tersenyum sambil menjepit kedua pipi Ayu dan mengecupnya.

"Nan, kamu jangan cium aku! Jijik banget tahu dicium sama perempuan," tutur Ayu sambil menahan tawa.

"Aku laki-laki tulen, Ay," sahut Nanda sambil mengusap lipstik merah di bibirnya dan menyodorkan bibirnya kembali ke bibir Ayu.

Ayu menarik mundur tubuhnya sambil menahan bibir Nanda menggunakan jari telunjuknya. Tangan satunya memegang pinggang Nanda karena Nanda masih terus menyodorkan tubuhnya hingga ia hampir terjengkak ke lantai kembali.

Nanda mengalihkan pandangannya ke bagian dada Ayu yang polos karena kain jarik yang menutupi tubuhnya sudah terkulai di lantai yang ada di bawah mereka.

((Bersambung...))

Menikahi Lelaki BrengsekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang