Bab 106 - Ditolak Keluarga

296 28 6
                                    


Nanda menarik napas dalam-dalam saat ia sudah berada di halaman keraton Kesultanan Surakarta. Ia menggenggam erat tangan Ayu yang ada di sebelahnya dan menoleh ke arah beberapa anak buah yang ada di belakangnya.

"Kalian pulanglah! Aku ada urusan pribadi. Kalau mama tanya, katakan saja jika aku sedang berada di keraton untuk mengambil istri," perintah Nanda.

"Baik, Tuan!"

Semua orang yang ada di belakang Nanda, langsung bergegas pergi meninggalkan atasan mereka.

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kaki perlahan dengan tubuh gemetaran. Perasaannya bergejolak dan tak karuan. Ia sudah melanggar aturan suci keraton tersebut dan tidak tahu bagaimana harus menebus semua kesalahannya itu.

"Ndoro Puteri ...! Apakah Ndoro Puteri ingin masuk ke Istana?" salah seorang abdi dalem keraton tersebut terlihat terburu-buru menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan langkah kakinya saat ia sudah berada di depan pintu gerbang yang dijaga oleh dua prajurit keamanan tempat tersebut. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan menganggukkan kepala.

"Maaf, Ndoro ...! Ndoro Puteri dilarang masuk ke istana."

Ayu terdiam sejenak sambil menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha mengumpulkan keberanian yang selama ini sudah tercerai-berai entah ke mana. "Aku akan laksanakan upacara kesucen," ucapnya dengan bibir gemetar.

Abdi dalem itu terlihat sangat gelisah mendengar ucapan Ayu.

"Kenapa? Apa aku masih belum bisa melakukan upacaranya?" tanya Ayu.

"Bi-bisa, Ndoro. Tapi ... ada beberapa syarat yang masih harus dipenuhi."

"Katakan! Apa saja syaratnya?" perintah Roro Ayu.

"Mari, ikut saya dulu!" pinta abdi dalem yang ada di sana sambil mempersilakan Ayu dan Nanda penuh rasa hormat.

Nanda dan Ayu melangkahkan kaki mengikuti abdi dalem yang ada di hadapannya hingga sampai ke salah satu kediaman yang biasa digunakan untuk menyambut tamu luar.

"Tunggu di sini! Saya akan panggilkan Kanjeng Sultan untuk menemui kalian."

Ayu mengangguk. Ia meletakkan tas tangannya ke atas meja dan duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapan kursi singgasana yang ada di sana.

"Ay, harus berlutut kayak gini?" tanya Nanda.

Ayu langsung menarik tangan Nanda agar segera duduk di sampingnya. "Ikuti saja peraturannya!"

Nanda langsung duduk bersila di samping Ayu.

"Duduknya jangan kayak gitu!" pinta Ayu. "Kakinya dilipat ke belakang."

"Eh!?" Nanda memperhatikan cara duduk Ayu. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya. "Ay, susah duduk kayak gini. Burungku kejepit," bisiknya.

Ayu mendelik sambil menyikut tubuh Nanda. "Jangan bercanda terus di sini!" pintanya berbisik.

"Nggak boleh, ya?" tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Di tempat itu, tidak hanya mereka berdua. Ada beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri di sana, tapi semuanya hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan, napas mereka saja tidak sampai terdengar di telinga Nanda.

Tiga puluh menit kemudian ...

Nanda mulai gelisah karena orang yang akan ia temui, tak kunjung muncul di hadapannya. Duduk dengan kaki terlipat di bawahnya, membuatnya sudah merasakan nyeri dan kebas. "Ay, masih lama?" bisiknya lagi.

"Tunggu saja!" sahut Ayu. Wanita itu tetap terlihat tenang meski sudah duduk bersimpuh selama tiga puluh menit.

"Aku boleh duduk sila sebentar? Keram banget kakiku, Ay," tanya Nanda.

"Nan, seriuslah! Kita datang untuk meminta pengampunan dan menebus kesalahan kita," pinta Ayu.

"Kakimu nggak sakit?" tanya Nanda. "Kita bisa lumpuh kalau terlalu lama duduk di sini."

Ayu menggeleng.

Nanda menghela napas. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tahu, saat ini Ayu sedang menderita, tapi tidak mau menunjukkan penderitaan di hadapannya.

"Apa yang membuatmu kembali ke sini?" tanya seorang pria tua yang dituntut untuk duduk di singgasananya. Di belakangnya, juga sudah ada beberapa orang dengan pakaian kebesaran. Kedua orang tua Ayu, juga ada di sana untuk menyambut kedatangan puteri mereka.

"Kenapa kamu membawa pria ini lagi?" seru Edi saat melihat Nanda sudah duduk di samping Ayu.

"Seret pria ini keluar dari sini ...!" perintah Edi pada penjaga yang ada di sana.

Dua orang penjaga, langsung menarik lengan Nanda dengan cepat.

Nanda tersentak mendengar perintah Edi yang begitu cepat membuatnya diseret keluar. Ia berusaha mempertahankan diri agar tidak dibawa pergi dari sana. Seharusnya, ia membawa semua anak buahnya ke tempat ini agar keluarga ini tidak bersikap semena-mena terhadap dirinya.

"Ayah ...! Jangan usir Nanda dari sini!" pinta Ayu sambil memegangi tubuh Nanda. Ia langsung menatap dua pengawal yang memegangi tubuh Nanda. "Lepaskan dia!" perintahnya.

Pengawal yang ada di sana terlihat kebingungan karena semua keluarga keraton adalah majikan bagi mereka.

"Bajingan ini nggak pantas masuk ke keluarga kita. Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan dulu dan kamu masih membawanya kemari?" seru Edi sambil menatap tajam ke arah Ayu.

"Ayah, semua orang punya kesalahan dalam hidupnya. Nanda sudah minta maaf, sudah menebus semua kesalahannya. Apa masih belum cukup?" tanya Ayu sambil menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu ...!? Ke sini mau melawan ayahmu, hah!?" seru Edi.

"Mas, jangan emosi! Kasihan Ayu," bisik Bunda Rindu sambil berusaha menenangkan emosi suaminya.

"Edi, apa kamu tidak melihat keberadaanku? Kamu bisa sesukanya memarahi Roro Ayu dan tamu yang dia bawa?" tanya seorang pria tua yang duduk di singgasana besar itu.

"Maaf, Romo ...!" Edi langsung membungkuk dan memberi hormat pada pria nomor satu di keraton tersebut.

Sri Sultan Pakubuwono tersebut langsung menatap wajah Nanda. "Lepaskan dia!" perintahnya pada pengawal yang memegangi Nanda".


[[Bersambung...]]

Menikahi Lelaki BrengsekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang