Bab 48 - Perih

360 29 0
                                    


Dua jam sebelum pergi ke pesta ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya, mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota Surabaya.

"Mbak, teman saya ini lagi hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!" pinta Nadine saat ia dan Ayu sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.

"Oh ya? Tapi, harga untuk make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak."

"Kami nggak permasalahkan harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang susah?" sambar Nadine dengan cepat.

Karyawan itu menggeleng. "Baik, Mbak." Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.

Nadine menghela napas sambil melipat kedua tangan di dadanya. "Emangnya kita kelihatan kayak orang susah, ya?" tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.

Ayu tertawa kecil. "Sabar! Jangan emosi gitu, dong!" ucapnya sambil mengelus lengan Nadine.

"Kesel aku kalau diginiin sama orang. Nggak tahu apa kalau anaknya yang punya mall ini setiap hari ngejar-ngejar aku?"

"Hush! Jangan ngomong gitu! Ntar dikira kamu pamer," sahut Ayu sambil tersenyum manis.

"Biar aja! Aku emang suka pamer."

Ayu hanya terkekeh geli menatap wajah Nadine yang emosinya mudah sekali meledak hanya karena hal sepele. "Kamu lagi PMS?"

Nadine menghela napas. "Lagi kesel aku, Ay. Aku tuh dibikin kesel sama Okky sepanjang jalan. Dia bilang, mau jemput aku ke Semarang. Aku tuh udah ngalah dan mobilku kusewakan sama temen. Eh, satu jam sebelumnya ... dia bilang nggak bisa jemput aku karena di rumahnya sibuk banget. Coba dari awal ngomong gitu, aku nggak kesel kali. Akhirnya, aku harus dijagain sama ajudan kayak gini," keluhnya.

"Emang biasanya, kamu nggak dijagain ajudan? Papamu Jenderal, Nad. Itu protokol keamanan untuk anak jenderal. Jangan main-main, deh! Aku serem loh yang waktu denger kasus dia mau ditembak mati itu. Kalau kamu yang jadi sasaran berikutnya, gimana?" tanya Ayu.

"Mati," jawab Nadine santai.

"Kamu kok gitu sih, ngomongnya?" tanya Ayu sambil menatap sedih ke arah Nadine.

"Yah, setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Punya jalannya sendiri untuk mati. Kalau emang aku ketembak mati sama musuh-musuh papa, aku nggak keberatan. Asalkan papa baik-baik aja. Ada jutaan orang yang berlindung di balik punggung papa dan membutuhkan dia. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang anak jenderal yang nggak punya kekuatan untuk melindungi semua orang," ucap Nadine.

"Jangan ngomong gitu, Nad! Semua ibu hamil butuh kamu. Kalau kamu nggak dinas di Semarang, aku bakal konsultasi sama kamu setiap hari supaya aku nggak setress."

"Tarif gue mahal!" sahut Nadine sambil melirik tajam ke arah Nadine.

"Sialan kamu!" dengus Ayu sambil menoyor pundak Nadine.

Nadine tertawa kecil. "Eh, kamu beneran setress? Setress kenapa? Ibu hamil nggak boleh setress, loh. Bahaya."

"Bahayanya gimana? Aku juga nggak mau setress. Tapi, kadang kepikir aja sendiri. Tiba-tiba kebayang hal-hal yang aku ... aku ... huft! Sulit buat aku ungkapin, Nad."

Nadine menghela napas sambil menatap wajah Ayu. "Aku tahu, MBA itu udah beban. Apalagi, kamu harus menikah sama orang yang nggak kamu cintai. But, ada hal lebih penting yang harus kamu perjuangkan," ucap Nadine sambil mengelus lembut perut Ayu yang mulai membuncit. "Dia," lanjutnya.

Ayu menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca. "Boleh nggak sih aku benci anak ini, Nad?"

"Ayu ... kenapa kamu ngomong kayak gitu?" Nadine langsung menangkup wajah Ayu dan mengusap air matanya yang jatuh.

Air mata Ayu semakin mengalir deras. Ia tidak tahu pada siapa akan bercerita. Ia hampir tidak punya teman. Bercerita pada bundanya, hanya akan menambah beban orang tuanya. Rekan kerja, tidak ada yang terlalu dekat. Hanya Nadine, teman kecil yang masih begitu menjaga komunikasi dengannya meski mereka berbeda kota.

Menikahi Lelaki BrengsekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang