"San di mana?"
Itu hal yang pertama kali Wooyoung tanyakan setelah ia mendapati Jongho menatapnya di halaman belakang tersebut, selagi Hongjoong dan Mingi berada di dalam kolam renang. Wooyoung mengangkat alis, menunggu jawaban hingga Jongho mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyaanya.
"Kayaknya di kamar."
"Ah, okay."
Wooyoung mengangguk berulang, tersenyum seperti biasanya dan kemudian berbalik pergi, meninggalkan tiga orang tersebut secara cepat.
Rasanya Wooyoung tak ingin membohongi diri sendiri, tapi dalam dadanya, ada sesak yang terasa lebih daripada biasanya. Setiap kali melihat San bersama Arin, bahagia berdua, Wooyoung merasakan ngilu dan nyeri itu. Tapi ia tahu, tak ada yang bisa dirinya lakukan, toh, dengan Arin, San terlihat sangat bahagia.
Hanya saja, kemarin itu, ketika San begitu perhatian pada Yeosang, barulah, Wooyoung merasakan sesak luar biasa. Lebih daripada ketika bersama Arin. Perhatian San terhadap Yeosang membuatnya menggila.
Terlebih, mereka adalah teman sekamar sekarang.
Wooyoung membawa diri, menuju hadapan kamar San dan berharap tak ada Yeosang di sana. Jangan salah paham, Wooyoung menyayangi Yeosang sebagai temannya. Namun jika ini urusannya tentang San, entah mengapa, Wooyoung sangat tak rela.
Perlahan, Wooyoung mengetuk pintu kamar tersebut, menunggu sahutan.
Memang benar adanya sahutan itu berasal dari San.
Tapi Wooyoung masih berdoa, saat ia membuka pintu, ia tak menemukan Yeosang.
Ah... semesta memihaknya.
Wooyoung tak menemukan Yeosang, hanya San yang duduk santai di kursinya sembari memainkan ponsel. Wooyoung tersenyum tipis, membawa niatnya sebelum mengutarakan maksud lainnya.
"Desan..." panggilnya pelan.
San langsung mengunci layar ponsel dan menurunkan dari hadapan wajahnya. San pun berdiri, mendekat ke arah Wooyoung yang juga melangkah masuk, menunggunya bicara.
"Itu... maaf tentang kemarin itu..."
Ucapan Wooyoung membuat San terkesiap ketika tahu konteksnya, yang mana langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Gak, Wooyoung. Itu gue yang salah. Jangan minta maaf."
"Gue coba paham kenapa lo berakhir dengan ngambil keputusan buat bikin Seonghwa minum..."
"Gue merasa bersalah banget." ucap San, tak terduga langsung menarik Wooyoung ke dalam pelukan, dan menepuk punggungnya berulang. "Gue gak maksud. Lo berhak marah."
San tentu tak menyadari bahwa pelukan itu berefek lain bagi Wooyoung.
Di mana Wooyoung langsung melepas pelukannya dan terkekeh tak enak. "Iya, udah marahnya kemarin."
San terkejut sesaat mendapati pelukannya dilepas namun setelahnya terkekeh pelan. "Masih boleh kalau belum puas?"
"Gak." Wooyoung menolak, membawa pembicaraannya ke arah lain. Atau sebenarnya, yang mengganjal di hatinya. "Tapi... kenapa lo kasih Yeosang mojito? Maksud gue... minuman kayak punya gue pun ringan. Dan Yeosang bukan Seonghwa yang toleransi alkoholnya di sebelah nol."
Tapi ucapan itu justru membuat raut wajah San berubah.
Wooyoung menangkapnya dengan jelas, melihat bagaimana ia langsung memikirkan akan sesuatu yang tak ia ketahui. San membenarkan sikapnya dengan senyuman tipis, lalu mengedikkan bahunya.
"Gak apa. Cuma, biar dia gak minum aja."
Jujur, lagi, Wooyoung merasa sakit.
Tapi apa daya.
Selama ini, Yeosang memang terlalu inosen untuk semua orang melihatnya, membuat siapapun pasti ingin melindunginya. Sedangkan Wooyoung? Dirinya berisik, ceria, seperti tak memiliki masalah sama sekali.
Jadi... siapa yang akan sadar bahwa ia menanggung rasa?
"Wooyoung?"
Tahu bahwa sakitnya semakin kentara, Wooyoung kembali berusaha menyembunyikannya. Sambil terkekeh Wooyoung menyikut San, lalu mengedikkan kepalanya ke arah luar.
"Belanja kebutuhan dapur, yuk? Banyak yang habis. Kartu ada di siapa sekarang?"
.
.
.
Dengan itu, Wooyoung mendapatkan waktunya berdua bersama San.
Di sebuah supermarket itu, Wooyoung mendorong trolleynya. Mereka mencapai tempat ini dengan meminjam mobil milik Yeosang, yang kebetulan baru pulang ketika mereka akan berangkat. Karena tentu Wooyoung tahu, Hongjoong terlalu pelit untuk meminjamkan miliknya.
Sembari menikmati waktu, Wooyoung tak bisa berhenti tersenyum. Bahkan ketika ia memilah sayuran, buah-buahan dan frozen food di sana. Sesekali sembari menjawab pertanyaan San yang kadang tak terduga. Misalnya, ia bertanya apakah paprika rasanya manis. Atau meminta Wooyoung mencari semangka berwarna kuning dengan mengatakan itu belum matang lantaran dia pernah melihat di internet, atau juga meminta Wooyoung membuat frozen food manual, katanya.
Wooyoung kadang jengkel, tapi secara bercanda. Walau sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat senang.
Sedih sekali mengingat bahwa San tak mungkin menyukai sesama jenis, karena melihatnya selama ini hanya berhubungan dengan perempuan. Juga sakit karena rasanya Yeosang mendapatkan perhatian lebih darinya, padahal ia juga inginkan itu.
Bahkan sampai Wooyoung berpikir hal bodoh.
Haruskah dia membuat masalah seperti Seonghwa untuk mendapatkan perhatiannya? Setidaknya, San yang marah-marah dan mengurus Seonghwa hanya untuk bicara, itu adalah sebuah perhatian juga, bukan?
Wooyoung tak sadar mematung di hadapan bagian mie instan.
Sampai ia merasakan acakan di rambutnya, di mana San muncul dari belakang, dan ikut menatap ke arah sama, padahal Wooyoung sudah meliriknya.
"Jangan merk ini, kuahnya agak asam."
Wooyoung tertawa pelan, untuk menggodanya. "Asam pun bisa gue masakin jadi lebih enak. Lo kan selalu ingin gue masakin."
Saat itu San berpikir bahwa itu ide yang bagus.
Tapi ketika San meraih beberapa bungkus mie instan tersebut, kalimatnya justru terdengar seperti,
"ah, tapi asam juga gak apa sih. Yeosang suka merk ini, 'kan?"
menamparnya lagi, bahwa ia takkan pernah menarik perhatian San selama ini. Takkan pernah menjadi, titik fokusnya.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Pendek~ Lux kasih kalian kesempatan bernapas dulu sebenarnya, hehehehe~
Love, Luxor.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Octagon.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ OCTAGON (ATEEZ BXB SMUT)
FanfictionThe rule is; we can't fall in love with each other. Dilema dari 8 orang yang memilih untuk tinggal bersama. Seluruh perasaan yang semula terkubur, muncul ke permukaan satu per satu. Menyakitkannya, bukan hanya itu masalah yang timbul diantara mereka...