_Happy Reading_
^^^
Kalian tahu mengapa penyesalan selalu berada di akhir? Ya, karna kebanyakan manusia membuat suatu pilihan ketika hati serta pikiran mereka tengah bertentangan. Kita terlalu mengedepankan emosional negatif pada pikiran kita, sehingga apa yang ada di dalam hati justru dikesampingkan begitu saja. Alhasil, yang terjadi adalah kita menyesali atas tindakan yang pernah dibuat secara gegabah di masa lalu.Seperti yang Adel rasakan saat ini. Dia pikir, dengan bersikap malas-malasan dan mengabaikan sekolahnya adalah keputusan yang benar untuk melampiaskan kemarahannya pada Ayahnya. Namun, ternyata tidak.
Tidak ada keuntungan yang Adel dapat selama bersikap demikian. Justru yang dia dapat adalah nilai yang buruk, dan pandangan buruk orang terhadap tingkahnya selama ini. Dan kenyataan terpahit lainnya, Ayahnya tetap bersama dengan istri barunya.
Alih-alih fokus mengembangkan diri untuk menjadi anak yang pintar dan berprestasi, Adel malah memilih kebalikannya. Dan sekarang yang dia dapat adalah penyesalan atas tindakkannya tersebut.
Dia juga mulai menyadari suatu hal. Apa mungkin, Ibunya di sana kecewa melihat tingkahnya selama ini?
"Gue udah buat rangkumannya supaya lo paham. Materinya nggak perlu lo hapalin, karna ini bukan rumus. Cukup dipahami aja."
Adel memperhatikan sebuah buku yang disodorkan di atas meja oleh Ardhan. Sebuah buku yang berisi materi yang hari ini akan dia pelajari ulang bersama lelaki itu. Bahasa Indonesia.
Setelah beberapa hari belakangan ini otak Adel rasanya mengepul karna berhadapan dengan rumus, akhirnya Adel bisa bernapas lega karna hari ini tidak akan ada angka-angka yang harus dia hitung.
"Lo yang rangkum semuanya? Secepet itu?" Dan dikhususkan untuk dirinya? Adel menahan senyumnya. Langsung merasa dispesialkan oleh sosok laki-laki yang lima hari ini telah berstatus sebagai pacarnya.
"Nggak usah kepedean!" Tangan Ardhan menoyor kening Adel menggunakan pulpen yang di genggamannya, membuat pemilik kening itu langsung cemberut, kesal.
"Catatan ini gue buat emang karna gue perlu. Setiap mau ulangan gue emang selalu ngerangkum ulang materi supaya lebih gampang buat belajar," jelas lelaki itu. "Gue pikir pelajaran di sekolah gue juga nggak beda jauh sama yang diajarin di sekolah lo," imbuhnya, kemudian duduk di hadapan Adel dengan sebuah meja yang menjadi sekat di antara keduanya.
Adel tersenyum bangga, yang seketika mengenyahkan rasa kesalnya setelah mendengar penjelasan akhir dari Ardhan. Ternyata geng motor yang selama ini lelaki itu ikuti tidak membawa pengaruh pada sekolahnya. Ardhan tetap melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang siswa pada umumnya.
Dan, itu berhasil membuat suatu tamparan keras untuk Adel.
"Jadi, lo mau terus senyum-senyum nggak jelas kayak orang gila, apa mau mulai belajar?"
Seketika Adel langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi normal, seraya menggerakkan tangannya cepat untuk membuka buku.
Adel menenggakkan badannya, lalu menatap Ardhan yang tengah memandanginya datar.
"Ayok mulai!" Gadis itu menyahut semangat. Ardhan menggelengkan kepala, sebelum kemudian menyodorkan satu buku lagi ke arah Adel.
"Yang ini tugas lo kemarin. Udah gue cek, jawabannya lumayan."
Ardhan memberikan buku milik Adel yang berisi soal-soal yang sudah gadis itu isi kemarin. Ardhan sudah mengecek semua jawabannya, yang memang hampir sempurna. Kalau dipikir-pikir, Adel memang tidak bodoh-bodoh sekali. Gadis itu cukup pintar, hanya saja mungkin karna sifat malasnya yang telah menghambat belajarnya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia's World
Roman pour AdolescentsLayaknya hujan, cinta Adel terhadap Qen mengalir deras. Cintanya seperti derai air hujan yang berjatuhan. Banyak, dan tak terhitung berapa jumlah rintiknya. Namun, siapa sangka, jika di balik cintanya yang mengalir ada sebuah badai yang menghalau l...