59 | Memilih Egois

108 4 3
                                    

Yuhuu, akhirnya...

Dari pertama masuk kerja lagi—setelah lebaran—asli, lembur terus. Pulang paling cepet itu antara jam 9-10 malem, lainnya bisa di atas itu😌 'Kan bisa nulis hari Minggu, kak.'  Iya, penginnya sih gitu, tapi karna Senin-Sabtu udah capek banget, pas weekend aku puas-puasin buat tidur, wkwk. Dan hari ini pun aku masuk, tapi untungnya pulang sore jadi bisa usahain buat revisi.

Sebenernya bab ini itu udah aku tulis selesai kemarin-kemarin, cuman baru sempet aku revisi malem ini. Maaf ya, telat up banget.

_Happy Reading_

^^^

Serangan panik, atau orang biasa mengenalnya dengan sebutan Panic Attack, yaitu merupakan perasaan takut yang berlebihan atas suatu hal yang dapat menimbulkan reaksi fisik tertentu. Kondisi tersebut kerap kali hanya berlangsung dalam waktu beberapa menit saja, tetapi ada juga yang mengalaminya hingga sampai jangka waktu yang cukup lama. Semua tergantung pada si penderita, bagaimana cara dia untuk mengatasinya. Kurang lebih itu yang dijelaskan oleh dokter beberapa menit lalu setelah memeriksa kondisi Adel.

Kini, gadis itu sudah dipindahkan, ke sebuah ruangan yang seharusnya menjadi ruang rawat inap milik Qen sepenuhnya.

Ruangan dengan nuansa putih itu masih terasa senyap. Belum ada yang mulai membuka suara usai sosok berjas putih melenggang pergi meninggalkan ruangan.

Hembusan napas berat dari sosok yang tengah duduk di samping Brankar akhirnya mengalun, menghapus perlahan jejak kesunyian yang sedari tadi menghuni.

"Lo tadi pas ngasih tau Adel kalo gue kecelakaan pasti ngomongnya terlalu berlebihan, makanya Adel sampe kayak gini." Tak bisa mengelak, Rafli yang dituding hanya meringis saat mendengarnya. Tangan lelaki itu bergerak, menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tak terasa gatal.

Rafli sendiri tidak tahu kalau respons Adel akan semengerikan tadi. Padahal, niatnya hanya ingin memberi tahu Adel perihal kabar  yang dia dengar dari orang rumah sakit yang meneleponnya menggunakan ponsel milik Qen jika lelaki itu mengalami kecelakaan.

"Ya ... gue cuman ngomong seadanya, kalo lo kecelakaan. Udah, gitu doang. Lagian, mana ngerti juga gue kalo lo cuman cedera ringan." Tak mau sepenuhnya disalahkan, Rafli sedikit membela diri. Kemudian sikutnya menyenggol lengan milik Dino.

"Lo juga No, kenapa bisa sampe ngomong di depan Adel kalo Qen mau dioperasi?" Rafli mencari aman. Dan kini, Dino yang bergilir menjadi tersangka berikutnya. 

Dino berdehem, menatap Qen yang memang tengah mengarah kepadanya. "Salah Staf rumah sakitnya juga. Mereka ngasih info malah ketuker gitu sama pasien lain," sanggah Dino.

"Adel itu agak sensitif kalo tahu orang terdekatnya kenapa-napa." 

Kemudian Qen terdiam. Memilih tidak lagi menyudutkan kedua sahabatnya, karna memang bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Pandangan laki-laki itu kembali mengarah kepada sosok Adel yang masih terpejam. Wajah pucat yang kini tengah ditatapnya membuat Qen cemas, mengingat sudah setengah jam lamanya sosok Adel tak kunjung membuka mata.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana paniknya Adel tadi saat tahu kabar tentang dirinya yang mengalami kecelakaan. Terlebih, dengan adanya sifat sensitif yang Adel miliki—yang akan sangat mudah membawa pengaruh buruk pada reaksi fisiknya saat mendengar orang-orang terdekatnya mengalami sakit.

Tak sedikit orang meyakini, jika pengalaman buruk lebih melekat di dalam diri seseorang meski kejadian itu sudah berlalu sampai bertahun-tahun lamanya. Sebab, memori negatif cenderung lebih cepat direkam secara detail oleh otak manusia. Yang mana, memori tersebut sangat mudah memunculkan emosi negatif dalam diri seseorang manakala jaringan otak kita kembali mengingatnya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Adelia's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang