♡Happy Reading♡
^^^
“Jika melepas adalah kata yang pas, maka ajari aku perihal ikhlas. Agar lara hati ini, tak lagi membekas...”
^^^
Suasana ruangan terasa sangat lenggang. Kebanyakan siswa masih berada di ruang teater sekolah untuk menyaksikan jalannya acara Festival Band Musik. Adel dan Ocha memilih menarik diri dari hiruk-piruk yang terjadi di sekitarnya. Dan di sinilah mereka berdua, duduk saling berhadapan dengan meja panjang yang menjadi batasnya.Ruang kantin. Meskipun di sekolah tengah mengadakan acara, kantin utama tidak pernah ditutup. Terkecuali, jika hari libur tentunya.
Suara meja diketuk-ketuk kembali terdengar. Adel dengan tangan yang memegang sendok sekarang menjadi pusat perhatian Ocha sepenuhnya.
“Udah dong, jangan cemberut gitu. Sumpah, kalo kayak gitu jeleknya kelihatan banget tau nggak.”
Suara terkekeh Ocha terdengar, mencoba untuk menarik perhatian Adel yang sedari tadi hanya melamun. Dan tampaknya, cara Ocha berhasil dan membuat Adel bergerak.
Kedua mata sayu Adel memandang Ocha. Kepalanya mengangguk. “Hum, gue emang udah jelek kali, Cha,” balas Adel dengan nada rendah.
Perkataan Adel mempunyai arti lain. Ocha bisa merasakan itu dari sorot matanya.
Saat kejadian di belakang panggung, Ocha melihat semuanya karna dia berada tepat di belakang Adel. Jadi, Ocha juga bisa mengerti penyebab Adel menjadi tidak semangat seperti sekarang.
Wajah gusar Ocha masih belum mereda. Ada perasaan tidak enak yang seketika menyerang dirinya. Biasanya, Adel akan marah jika sudah dikatai jelek. Kata Adel itu adalah sebuah fitnah besar.
“Bukan gitu, Del—”
“Gue jelek banget, Cha. Hati gue jelek, perilaku gue jelek, semua yang ada di diri gue juga jelek. Orang rusak kayak gue, emang nggak pantes disandingkan sama sesuatu yang sempurna. Nggak cocok.” Adel tertunduk setelah meracau. Kedua kaki yang terdapat di bawah meja sudah bergerak, menendang-nendang udara kosong.
Ocha menggeleng keras, menangkal semua ucapan yang dilontarkan oleh Adel.
“Cha, lo tau hujan?” Adel kembali menatap orang di depannya.
Mulut Ocha yang hendak dibuka kembali terkatup. Dia memilih mengangguk saat Adel tiba-tiba menanyakan suatu hal sudah pasti diketahui semua manusia.
“Kayaknya, cinta gue itu bakal berakhir kayak hujan di malam hari.” Adel menopang dagu. Wajah pucatnya merengut.
“Maksudnya?”
Yang ditanya tidak langsung menyahut. Suara helaan napas Adel mengudara. Dia beralih melipat kedua tangan di atas meja, sebelum kemudian mulai bersuara.
“Nggak akan ada pelangi setelahnya.”
Menyedihkan.
Terkadang, Adel merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Dia seperti orang yang haus akan kasih sayang. Bukan. Bukan lagi seperti, tetapi memang kebenarannya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia's World
Teen FictionLayaknya hujan, cinta Adel terhadap Qen mengalir deras. Cintanya seperti derai air hujan yang berjatuhan. Banyak, dan tak terhitung berapa jumlah rintiknya. Namun, siapa sangka, jika di balik cintanya yang mengalir ada sebuah badai yang menghalau l...