Chapter 40 | Qen Marah?

62 11 4
                                    

Hai kalian?

Gimana puasanya? Lancar? Bagi yang menjalankan, semoga lancar terus ya.

Oh, iya, walaupun pembaca Adelia's World ini sedikit, tapi aku yakin di balik itu pasti ada segelintir pembaca yang nunggu cerita ini up, dan kalo emang keyakinan aku bener, aku mohon maaf sebanyak-banyaknya karna update cerita ini terlalu ngabad.

Tapi kalian tenang aja, aku bakal tamatin cerita ini kok, itu bukan janji aku ke kalian, tapi emang janji aku ke diri sendiri.

♡Happy reading♡

^^^

"Bisakah kita menjadi sepasang lautan dan karangnya? Yang mana, lautan tanpa karang akan rusak, dan karang tanpa lautan tak akan ada artinya. Bisakah?"

^^^


Kesal. Satu kata itu yang sekarang ini tengah menggambarkan situasi hati milik Adel. Dia kesal dengan dirinya sendiri, yang dengan begitu mudahnya menyimpulkan jika Qen akan cemburu dengan Ardhan. Tentu itu hal yang mustahil. Apalagi setelah mengingat kembali kedekatan Qen dan Alika yang selama liburan kemarin selalu Adel pantau.
Bersikap seolah melupakan prinsipnya, diam-diam ... Adel memantau Qen. Dia bisa menyimpulkan jika hubungan Qen dengan Alika memang baik, malah semakin membalik.

Bukan tanpa alasan Adel berpikir demikian, karna faktanya Adel memang sering melihat Qen pergi pada malam Minggu, ditambah Adel juga pernah melihat Qen bersama Alika saat gadis itu hendak pulang seusai dari Dufan. Padahal, saat tahu Dino berada di Dufan Adel sempat berpikir juga jika Qen ada di sana, mengikutinya sama seperti yang dilakukan Dino terhadap Ocha.

Namun ternyata, memang hatinya yang masih menaruh harap kepada sosok Qen.

Adel menghela napas berat, sebelum akhirnya menoleh karna merasakan sosok lain yang baru saja berdiri di depannya. Tatapan sayu Adel kini terfokuskan pada lelaki jangkung yang tengah bersedekap tangan.

Sudut-sudut bibir Adel secara refleks saling bertarikan, menciptakan senyum singkat yang terkesan lega. "Lo dateng? Gue kira nggak bakal." Sosok yang ditatap Adel membuang muka malas.

"Kebetulan gue lagi bolos." Adel menanggapinya dengan anggukan kepala.

Beberapa menit yang lalu Adel mengirim chat kepada Ardhan, meminta lelaki itu untuk menjemputnya ke sekolah. Adel kira Ardhan tidak akan datang mengingat lelaki itu juga seharusnya masih berada di sekolah, tetapi ternyata dugaannya salah. Dan bersyukurnya lagi, Adel tidak perlu merasa tidak enak hati telah membuat Ardhan menemuinya karna ternyata Ardhan juga tengah membolos.

Ardhan menjatuhkan pantatnya di atas kursi panjang, duduk tepat di samping Adel. "Kenapa bolos?" tanya lelaki itu pada Adel.

"Gue nggak bolos. Izin pulang. Izinnya sih karna nggak enak badan." Adel cengengesan. Ardhan memilih tidak menanggapinya lagi.

Tak lama kemudian bunyi dering ponsel milik Adel mengalihkan perhatian dua remaja itu.

Sebaris nama yang tertangkap oleh penglihatan Ardhan membuat lelaki itu tersenyum kecil, tetapi kemudian menarik sudut alisnya–heran–melihat Adel malah me–reject panggilan teleponnya. "Kenapa dimatiin?"

Adel menggeleng, kentara jika gadis itu tidak mau membalasnya lebih lanjut. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas sekolahnya Adel merotasikan netranya ke arah Ardhan. "Gue laper, tapi nggak pegang duit."

Adelia's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang