Chapter 51 | Anxiety

44 7 20
                                    

_Happy Reading_

^^^

"Kamu hanya perlu melangkah lebih maju untuk menyingkirkan kecemasan pada diri sendiri. Nyatanya, dia hanya menyerang pikiranmu, bukan pergerakan yang ada pada dirimu."

^^^

Layaknya bumerang. Saat kita berharap sesuatu keburukan terjadi pada kehidupan seseorang, maka, terjadilah keburukan itu. Namun, bukan terjadi pada orang lain, justru terjadi pada diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya, doa-doa serta harapan baik yang dilangitkan untuk orang lain, maka, itu semua akan terlebih dahulu terjadi pada diri kita sendiri. Tidak percaya? Coba buktikan sendiri.

Namun, kita tidak sedang membahas sebuah harapan besar di sini. Kita hanya akan membahas tentang Qen. Tentang sosok lelaki jangkung yang kini tengah duduk di kursi belajarnya dengan wajah gusar. Di temani lampu temaram di atas meja, dan beberapa tumpuk buku yang terabaikan, Qen masih belum beranjak dari tempatnya sejak dua jam yang lalu.

"Padahal dia masih ada di sini. Masih satu atap sama gue." Di bawah meja, sepasang kaki Qen sudah bergerak-gerek dengan tidak tenang.

"Terus kenapa gue bisa setakut ini?" Sesaat Qen memejamkan matanya, salah satu kegiatan lain yang sudah beberapa kali lelaki itu lakukan secara berulang.

Qen tidak bisa menampik rasa gelisahnya. Pertemuan tidak sengaja sore tadi itu benar-benar membuat dia semakin disergap rasa cemas, takut, dan ... ketidak–berdayaan. Dia merasa dirinya semakin tidak aman. Begitu banyak ancaman-ancaman bahaya yang semakin memerangkap pikirannya. Penuh, hingga rasanya Qen tidak dapat berkutik.

Qen tidak mungkin salah mengartikan tatapan Om Darwis sore tadi yang tengah memperhatikan sosok Ardhan. Ada pancaran senang yang terpatri di antara sepasang netranya. Hingga, Qen merasa seperti tersingkir saat keduanya saling berbicara. Hati kecilnya berteriak ingin berada di posisi itu.

"Kamu..."  Darwis menatap ke arah Ardhan. Meskipun Adel tidak suka Ayahnya masuk ke dalam urusan hidupnya, tetapi orang tua mana yang akan bersikap masa bodo saat melihat anak gadisnya diantar pulang oleh laki-laki asing?

"Ngapain Ayah ke sini?" Adel menyela. Raut wajahnya terlihat jelas tidak menyukai kedatangan Ayah serta wanita paruh baya yang sekarang berdiri di sebelah Ayahnya.

"Aku kan udah bilang, kita seharusnya ketemu Qen di luar aja, Mas." Wanita itu setengah berbisik kepada Darwis.

Darwis menganggukkan kepalanya pelan disertai pejamkan mata  sesaat sebagai bentuk isyarat untuk menenangkan. "Bukan masalah besar," kata Darwis pada wanita di sebelahnya.

Di sisi lain, Ardhan menurunkan diri dari atas motor. Berjalan maju untuk menghampiri Darwis, lantas mengulurkan tangan sebagai bentuk perkenalan. "Saya Ardhan, Om."

Darwis tersenyum, kepalanya mengangguk-angguk. "Jadi, kamu siapanya Adel?" Darwis melaparkan pertanyaan kepada Ardhan, baru saja Ardhan membuka mulutnya hendak menjawab tetapi urung saat Adel dengan cepat menyelanya.

"Bukan urusan Ayah," ujar Adel dengan penekanan. Gadis itu lantas menatap tajam wanita yang berdiri di sebelah Ayahnya. “Urus aja urusan Ayah sendiri," terusnya, kemudian berjalan pergi meninggalkan ke empat orang yang tengah menatap Adel dengan terkejut. Terutama, sosok Ardhan.

Adelia's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang