Hii, aku balik lagii!!
Maaf ya, lumayan lama update.
Bab ini agak sedikit bikin kesel karna Ardhan (pendapatku) jadi, siap-siap perasaan kalian diombang-ambing karna sikap Ardhan.
Enjoy the storyline :)
_Happy Reading_
^^^
"Dendam itu penyakit. Kamu tidak akan sembuh hanya dengan membalaskan rasa sakit yang sepadan. Karna pada dasarnya, penyakit itu diobati, bukan malah ditulari."
^^^
Dia tidak terlalu bodoh untuk mengartikan tingkah Ardhan kemarin. Hembusan napas itu, serta tatapan mata yang menyorot pada satu titik yang berada di area wajahnya. Sungguh, jika saja kemarin Ardhan berani memutus jarak di antara mereka mungkin saat itu juga ia akan berteriak, dan memukul habis-habisan lelaki itu.
Untuk membayangkannya saja Adel merasa merinding, apalagi kalau benar-benar kejadian. Adel tidak tahu bagaimana canggungnya mereka jika itu sampai terjadi.
Namun, di banding memikirkan kejadian kemarin, Adel lebih memikirkan ikat rambut yang sekarang berada di pergelangan tangannya.
Adel belum sempat bertanya kepada Ardhan dari mana lelaki itu mendapatkan ikat rambut tersebut, karna memang setelah kejadian kemarin Ardhan lebih banyak diam. Hal itu membuat Adel merasa bukan waktu yang pas untuk membahasnya saat itu juga.
"Loh, belum pulang juga lo, Del?"
Adel mendongak, tatapannya bertemu dengan dua orang laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya. Salah satu dari dua orang itu menatapnya dengan pandangan terkejut.
Tidak heran, bunyi bel sekolah memang sudah berlalu kurang lebih dua puluh menitan. Lalu lalang para murid di lorong sekolahan juga sudah mulai berkurang, tidak sepadat tadi saat langkah kaki mereka berlomba-lomba untuk cepat meninggalkan sekolahan karna cuaca yang sudah mendung sejak pagi hari.
Adel mengulum bibirnya ke dalam, kepalanya lantas mengangguk pelan. "Hm, nunggu jemputan."
Gadis itu mendongak, memperhatikan hamparan awan hitam yang tak kunjung menumpahkan isinya ke Bumi. Padahal, setengah hari ini sama sekali tidak ada panas.
"Nunggu Ardhan?"
Adel kembali menoleh. Rafli, orang yang tadi sempat memberikan tatapan terkejut kini melemparkan pertanyaan lagi kepada Adel.
Ternyata, nama Ardhan sudah sampai ke telinga dua laki-laki itu, padahal Adel sendiri rasanya belum pernah membawa-bawa nama Ardhan saat berbicara dengan keduanya. Jadi, sudah sejauh mana Qen menceritakan tentangnya dan juga Ardhan kepada para sahabatnya itu?
"Iya," sahut Adel seadanya. Dia lalu memilih diam, menunduk dengan tangan yang pura-pura sibuk memainkan ponselnya. Berharap, dua orang itu segera pergi dan dengan begitu ia tidak perlu melihat wajah sinis di antara salah satu dari keduanya.
Dari pagi, ah, tidak, bahkan sudah beberapa hari belakangan ini Rafli selalu memberikan tatapan sinis dan ekspresi wajah yang tidak bersahabat kepadanya. Meskipun memang dia dan Rafli sering kali ribut—karna lelaki itu yang selalu mengganggunya. Namun, Adel tahu betul bedanya wajah yang tengah usil dengan wajah memendam rasa kesal. Ya, seperti yang saat ini tengah lelaki itu tunjukkan.
Adel tidak tahu apa salahnya, dan dia juga tidak ingin menanyakan hal itu langsung pada Rafli karna memang ia tidak peduli.
Meski begitu, tak ayal, Rafli masih mau bertanya kepadanya walaupun dengan wajah yang terlihat tidak enak dipandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia's World
Teen FictionLayaknya hujan, cinta Adel terhadap Qen mengalir deras. Cintanya seperti derai air hujan yang berjatuhan. Banyak, dan tak terhitung berapa jumlah rintiknya. Namun, siapa sangka, jika di balik cintanya yang mengalir ada sebuah badai yang menghalau l...