Hii, aku balik!!Maaf karna terlalu ngaret sampai lupa masih punya cerita yang belum tamat hihii. Dan, makasih juga untuk kamu-kamu yang udah DM, inbox, serta meninggalkan komen supaya aku cepat update bab baru.
Jujur, baru mulai nulis lagi karna emang enggak ada waktu luang, sekalinya ada waktu malah digunain buat rebahan yang unfaedah banget, tapi malah keterusan.😭
Happy reading
^^^
"Kemana pun kamu berlari, masa lalu akan tetap ada. Dia memang sudah tertinggal jauh, tetapi bukan berarti telah terlupakan. Dia ada, menghantui tiap-tiap manusia yang masih marah atas kedatangannya."
^^^
Siang hari kali ini cukup panas. Terik matahari yang terasa menyengat membuat permukaan kening Adel mulai di jajahi oleh keringat. Hawa panasnya semakin terasa ketika sebuah truk tronton berada tepat di sebelah motor yang tengah gadis itu tumpangi.Dengan salah satu tangan yang usai menyeka keringat di kening, untuk kesekian kalinya Adel kembali menatap lampu merah di depannya. Entah kenapa disaat seperti ini detik pada lampu merah terasa begitu lamban.
Menyebalkan!
Bukan maksud Adel lebay atau semacamnya. Hanya saja, siapa sih yang akan betah berlama-lama berada di tengah jalan saat kondisi panas seperti sekarang? Apalagi ini Jakarta, yang terkenal dengan panasnya ketika menjelang siang hari.
Di balik kaca spion sosok Ardhan hanya menggeleng pelan kala memperhatikan Adel, sebelum akhirnya lelaki itu kembali menekan pedal gas motornya karna lampu merah di depan sudah berakhir. Dan saat itu juga helaan napas lega milik Adel turut mengudara.
"Lo bisa aja nolak ajakkan gue untuk pulang bareng." Suara itu berasal dari Ardhan yang kembali membuka obrolan yang sempat berakhir ketika berjumpa dengan lampu merah. Tampaknya lelaki itu cukup paham dengan tingkah Adel yang merasa tidak nyaman saat lampu merah tadi.
"Tapi lo kan ngajaknya pas udah nyampe depan gerbang sekolahan gue. Gimana bisa gue tolak?" Toh juga, chat yang Ardhan kirim sekitar tiga puluh menit yang lalu kepadanya berisi kalimat 'gue di depan, kita pulang bareng' yang mana jelas sekali artinya bukan sebuah ajakkan tapi lebih merujuk suatu keharusan. Ya, mana bisa Adel menolak.
Lagi pun, ada baiknya juga saat chat dari Ardhan muncul di notifikasi ponselnya, karna dengan begitu dia bisa membuat alasan yang logis untuk menolak Qen yang mengajaknya pulang bersama.
"Tapi gue suka sih naik motor," jujur Adel. Meskipun, kadang motor sport yang dia tumpangi membuat punggung lansianya pegal, atau misal membuatnya kepanasan saat terkena macet serta lampu merah seperti tadi. Namun, ya, itu bukan masalah besar yang harus sampai diperdebatkan.
Sebab, pada dasarnya, saat naik motor bisa membuat pandangan Adel lebih leluasa menatap ke sekelilingnya. Adel suka ketika angin sejuk memeluk tubuhnya di sepanjang perjalanan, yang mana, turut serta membuat beberapa anak rambutnya menari-nari karna diterpa angin. Dan, Adel juga suka ketika matanya dimanjakan oleh penampakan gedung-gedung kota yang menjulang tinggi.
"Ar, kalo dipikir-pikir, hubungan kita jadi lebih deket nggak sih?" Adel setengah berteriak agar suaranya dapat didengar jelas oleh Ardhan. "Lo ngerasain hal yang sama, nggak?" Tanyanya pada Ardhan, tetapi sepertinya Ardhan enggan untuk menanggapi pertanyaan itu.
Dengan tatapan yakin Adel kembali bersuara, "Padahal kita berdua kan, sama-sama nggak ada tujuan khusus untuk jadi dekat kan, ya?"
Tujuan khusus?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia's World
Teen FictionLayaknya hujan, cinta Adel terhadap Qen mengalir deras. Cintanya seperti derai air hujan yang berjatuhan. Banyak, dan tak terhitung berapa jumlah rintiknya. Namun, siapa sangka, jika di balik cintanya yang mengalir ada sebuah badai yang menghalau l...