♡Happy Reading♡
^^^
Qen berjalan cepat setelah keluar dari dalam mobil. Sementara Adel, dia berlari kecil untuk bisa menyeimbangi langkah kaki Qen. Namun percuma, karna sekarang, Adel sudah tertinggal jauh oleh Qen yang kini sudah bersiap masuk ke dalam rumahnya.
“Hai sayang?”
Kedatangan Qen langsung disambut oleh wanita paruh baya berumur 45 tahun, dia adalah Kinanti—Bunda Qen yang baru saja pulang dari luar kota.
“Bunda pulang kapan? Kok nggak kasih kabar ke Qen dulu?”
“Surprise, dong sayang.”
Setelah melepaskan pelukannya, Qen menyalami wanita yang berada di hadapannya sekarang.
“Adel mana? Kamu kenapa sendirian? Selama Bunda tinggal, Adel gak ilang, kan? Gak diculik orang, kan?”
Mulai lagi. Sebenarnya anak Bundanya itu dirinya atau Adel? Lagi pun, mana ada orang yang mau menculik Adel. Makhluk tidak berguna seperti Adel bisa dimanfaatkan apanya? Yang ada penculik itu kewalahan menghadapi sikap Adel yang selalu membuat orang naik darah.
Belum sempat menjawab pertanyaan Kinanti, Qen dikejutkan oleh suara teriakan Adel yang berasal dari ambang pintu.
“Tante Camer!”
Dengan tangan yang memegang kedua tali tasnya, Adel berlari layaknya anak TK yang mendapat jemputan oleh orang tuanya.
“Hai sayangnya Tante. Wah, kamu tambah cantik, ya? Tapi, kenapa tambah kurusan, ya?”
Kinanti memutar-mutar tubuh Adel, memperhatikan gadis itu dari bawah sampai atas, kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah Qen yang sudah duduk santai di atas sofa bersama Ayahnya.
“Qen, kamu kasih makan Adel, kan?” tanya Kinanti, dengan nada sedikit dinaikkan.
“Kalo Qen gak kasih makan Adel, mustahil Adel masih hidup sampai sekarang, Bun,” sahut Qen.
Benar juga. Kinanti kembali beralih menatap Adel.
“Yaudah, kamu duduk sana. Di meja Ada kue cokelat lho...”
Adel berbinar mendengarnya.
“Wah, serius, Tan?”
Kinanti mengaguk, lantas menarik lengan Adel menuju ke arah sofa.
“Ayo.”
^^^
Setelah menyapa Ayah Qen dan menyalaminya Adel langsung duduk di atas sofa.
“Cuci tangan dulu, Del!” tegur Qen, ketika melihat gadis itu mengambil kue yang tergeletak di atas meja kemudian dengan santainya kembali duduk.
“Kelamaan.”
Qen menggeleng-geleng kepala. Sementara Adel, dia sudah mulai khusuk memakan kue di tangannya dengan lahap.
“Om, Tante, jodohin Adel sama Qen dong,” pinta Adel disela-sela kunyahannya.
Pernyataan yang Adel lontarkan barusan sukses membuat Qen yang tengah menyeruput minumnya nyaris saja hendak lelaki itu semburkan di depan Ayahnya. Jika sampai itu terjadi hilang sudah statusnya sebagai anak berbakti.
“Emangnya, kalian saling suka?” Kinanti bertanya, wanita paruh baya itu mengambil tempat duduk di sebelah Adel.
“Iya, dong, Tan!" Adel berujar penuh semangat.
“Bener, tuh, Qen? Kamu suka Adel juga?” Kinanti menatap Qen takjub.
“Amit-amit, Bun.”
Adel yang mendengar itu langsung mengerucutkan bibir ke depan, kemudian kembali melanjutkan makannya. Sedangkan Kinanti, dia hanya geleng-geleng kepala.
Kinanti tidak pernah melarang Adel untuk menyukai Qen meskipun keduanya masih satu keluarga. Itu hak Adel. Dan Kinanti juga tidak akan memaksa Qen untuk menyukai Adel juga. Karna Kinanti tahu, cinta seseorang tidak bisa dipaksakan. Dia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua. Untuk ke depannya biarkan tuhan yang menentukan.
“Selama Tante dan Om pergi, Qen jagain kamu dengan baik, kan?”
Tanpa rasa ragu Adel menjawab dengan anggukkan mantap.
Kinanti menggumam, sebelum akhirnya kembali bertanya, “Qen, nggak macem-macem sama kamu, kan?” Kinanti menatap Adel serius.
“Yang ada, Adel yang suka macem-macem sama Qen, Bun.”
“Wah, bagus tuh. Terus kamu macem-macemin Adel balik, gak Qen?” Adam—Ayah Qen ikut menimbrung.
Qen terperangah. Meskipun perkataan itu sudah biasa dia dapati dari kedua orang tuanya, tetapi Qen tetap saja terkejut saat mendengar itu. Bagaimana tidak terkejut saat orang tuanya sendiri menyuruhnya untuk berbuat yang tidak-tidak kepada seorang gadis? Pelet macam apakah yang sudah Adel berikan kepada kedua orang tuanya itu?
“Ayah, Bunda, Qen ini anak kalian, kan?”
Kedua orang yang ditatap Qen langsung mengaguk mantap.
“Kalian mau biarin anak kalian berbuat macem-macem sama keponakan sendiri?”
“Kalo sehabis itu kamu mau tanggung jawab, kenapa enggak? Iya kan, Bun?”
Kinanti mengaguk. Qen mengusap wajahnya frustrasi. Di rumah ini memang tidak ada yang memihaknya. Kenapa tuhan membiarkan dirinya hidup dengan orang-orang seperti mereka? Qen rasa sebentar lagi dirinya akan mati muda.
“Kalian mau biarin hidup Qen sengsara?”
“Kalo kamu sama Adel, Ayah jamin hidup kamu gak akan sengsara,” komentar Adam, kemudian tersenyum penuh arti.
Mendengar itu, dengan semangat di atas rata-rata Adel menggeletakkan kuenya di atas pangkuannya, kemudian mengangkat kedua jempolnya.
“Betul, Om!”
Rasanya Qen ingin berteriak. Bukan karna mendengar perkataan Ayahnya atau perkataan Adel barusan, melainkan karna lelaki itu melihat seragam sekolah Adel yang sudah dipenuhi oleh cokelat. Baru satu hari digunakan sudah sekotor itu? Otak Adel seperti lansia tapi kenapa kelakuannya seperti anak kecil yang baru masuk TK? Siapa pun, tolong pindahkan dirinya dari tempat ini sekarang juga.
^^^
Next part?
Gimana sama part kali ini? Kira-kira kalian syuka ga? Semoga ceritanya ga buat ngantuk ya...
Tinggalkan vote & coment ya teman :)
See uu🌻
23-11-21
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia's World
Teen FictionLayaknya hujan, cinta Adel terhadap Qen mengalir deras. Cintanya seperti derai air hujan yang berjatuhan. Banyak, dan tak terhitung berapa jumlah rintiknya. Namun, siapa sangka, jika di balik cintanya yang mengalir ada sebuah badai yang menghalau l...