3. Usaha

6.6K 407 5
                                    


"Eila sekolahnya ditungguin Titi ya? Mama dapet shift pagi soalnya." Nada menyabuni tubuh anaknya. Eila tidak menggubris, anak itu asyik berputar-putar di dalam ember bundar berukuran jumbo—berisi air dan bola warna-warni. "Eila denger nggak Mama bilang apa barusan?"

"Ma," panggil Eila, mendongak menatap ibunya. Ia hentikan sejenak kesenangannya tadi. "Papa Eya mana? Eya mau diantal Papa."

Jantung Nada seolah berhenti berdetak. Eila mengerjap lugu, tersirat sorot memohon di sepasang matanya. "Eila dengerin Mama," pintanya, serius. "Berhenti ngomongin Papa, okay? Karena Eila anak Mama."

"Tapi teman Eya punya Papa. Mama juga punya Ayah. Kenapa Eya nggak punya?" cecar Eila yang akhir-akhir ini mulai meributkan sosok ayah. "Mama, Eya mau lihat Papa."

"Eila," desis Nada.

Buat anaknya kontan berkaca-kaca.

Bergegas Nada peluk putrinya, ia usap punggung Eila dengan lembut. "Eila mungkin belum sepenuhnya paham, tapi Mama yakin Eila anak baik. Eila sayang Mama dan nggak mau bikin Mama sedih, 'kan?" Eila mengangguk dalam dekapan, menerbitkan senyum di bibir Nada. "Nah, satu hal yang harus Eila tahu; apa yang dimiliki orang lain, belum tentu bisa kita miliki juga. Seperti peran papa."

"Papanya pelgi jauh ya, Ma?" Eila mendongak seraya bertanya lirih.

Nada menurunkan pandangan, senyumnya sedikit memudar. Wanita itu tidak membantah, pun mengiyakan. Sebab kenyataannya Janu tidak pergi, tapi juga tidak berniat mempertahankan rumah tangga yang baru seumur jagung. Dongeng yang mereka ciptakan hanya sandiwara. Dimulai untuk diakhiri. Dan tentunya atas kesepakatan bersama.

Sakit memang, ketika dinikahi seorang laki-laki hanya untuk mengalihkan kontroversi. Tapi pada saat itu, Nada butuh banyak uang untuk membayar semesteran adiknya, dan menerima Janu bukanlah hal yang sulit. Hanya diperistri, meski tidak diperlakukan laiknya istri.

"Papa ada kok, deket sama Eila. Tapi kita nggak bisa sama Papa."

"Kenapa, Ma?" tanya Eila, penasaran.

Gelengan Nada merespons, kemudian topik beralih. "Besok ada yang mau ke Malang nih." Wajah yang semula tampak mendung, kini berubah cerah merona. Eila tersenyum malu-malu. "Ditemenin Mama nggak?"

"Iya." Eila mengangguk.

"Emang Eila nggak berani sendiri?"

"Temen-temen Eya sama mamanya. Eya mau ditemenin Mama juga," rengek Eila, kumat sudah manjanya.

Memancing kekehan Nada. "Iya, okay Mama temenin."

"Tapi jangan sama Uncle ya, Ma?"

Permintaan Eila berhasil menghentikan gerak tangan Nada yang hendak menyisir rambut anaknya. Ibu satu anak itu mengernyit. "Kenapa?"

"Kalna Uncle bukan papa Eya."

"Oh, okay," gersah Nada, mengangguk paham. Ternyata Eila menerima Restu karena menghargai pria itu sebagai teman ibunya, bukan pengganti sosok ayah. Mendadak ringisan timbul di bibir Nada. Lalu dalam hati ia bergumam; nggak ada yang bisa gantiin kamu, Mas.



***


"Bye-bye, Eila!" Nada melambai pada putrinya, melepas kepergian si kecil di ambang pintu gerbang. Dibalas Eila dengan lambaian serta senyum ceria, sebelum si bocah menghampiri temannya dan melenggang ke kelas bersama. Dan begitu figur si kecil lenyap dari pandangan, Nada menyulihkan atensinya ke sisi. "Ra, Kakak berangkat dulu ya?"

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang