20. Cemburu Jilid Dua

5K 360 40
                                    

Bisa nggak ya tembus 100 votes?











Setibanya di Bandung, mereka disambut tatapan tajam Nimaz-yang berdiri di teras sambil bersedekap dada. Menyadari hawa panas di sekeliling, Hartomo lekas mengambil peran. Berjalan lebih dulu, mendekati sang istri dan membuka kedua tangan lebar-lebar, menyapa dengan senyum konyol andalannya. "Good evening, Kanjeng Ratu."

Nimaz memutar mata. "Nggak usah sok manis!"

"Lah, 'kan Bapak ganteng. Ibu lupa?" seloroh Hartomo, merangkul pundak istrinya.

Tatapan Nimaz tertuju pada Janu yang melangkah santai dengan Eila di gendongan, sementara di samping pria itu, Nada memeluk boneka Doraemon berukuran jumbo. Ah, jangan lupakan Jovan yang melangkah ogah-ogahan di belakang abangnya sambil menenteng setumpuk paper bag dengan wajah setengah hati.

"Utiiii!" Eila berangsur turun dari gendongan, berlari menuju sang nenek.

Kontan ekspresi Nimaz berubah hangat, wanita itu berjongkok-menyambut sang cucu dengan satu pelukan. Sepersekian detik dekapan terhela, Nimaz kecup pipi cucu kesayangannya. Tapi kemudian gurat wajahnya berganti galak. "Eila lupa nasihat Uti?"

Eila cemberut.

"Kan Uti sering bilang; jangan pergi kalau bukan sama Mama, Uti, Akung, atau Titi."

"Tapi Eya diajak Papa," jelasnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tolehkan kepalanya sejenak, menatap sang ayah yang berdiri tidak jauh darinya, lalu kembali pada neneknya. "Kemalen Eya pinjem sepedanya Lapa, tapi nggak boleh. Eya didolong Lapa, telus jatuh." Menunduk, jari telunjuknya menuding dengkul, ada bekas goresan di sana. "Ini sakit." Beralih menatap neneknya lagi, gadis kecil bersurai hitam itu meneruskan, "Untungnya Papa dateng, nolongin Eya. Abis itu Eya diobati Papa. Eya juga dibeliin sepeda." Sekali lagi menoleh pada sang ayah, Eila bertanya, "Papa, sepeda Eya mana?"

Senyum Janu tersungging. "Nanti Papa antar ke sini ya?"

"Okay, Papa." Eila mengacungkan ibu jari.

"Nggak perlu!" sergah Nimaz. Menyita seluruh atensi. "Keluarga kami memang miskin, tapi bukan berarti kami mengharapkan harta keluargamu. Kami masih bisa menghidupi Eila kok. Buktinya, dia masih bisa hidup sampai hari ini."

"Bu," tegur Hartomo dengan suara rendah.

Memindah fokus ke sang suami, ibu dua anak itu mendongak. "Apa?" sahutnya, galak.

Hartomo menghela napas.

"Bapak sama Nada tuh nggak ada bedanya! Lemah soal toleransi!" lanjut Nimaz, berapi-api. "Jangan karena Janu dari keluarga terpandang dan Bapak pernah kerja sama mereka, Bapak bisa seenaknya ngasih akses untuk laki-laki itu!" Berganti menatap Janu, kilat amarah berpendar jelas di sepasang matanya. Lalu sambil bangkit, ia tunjuk mantan menantunya seraya mencela, "Ngerasa bersalah, iya? Dan kamu pikir, rasa bersalahmu itu bisa ditukar dengan hadiah-hadiah mewah?"

"Bu-"

"DIAM, BAPAK ARDIANTO HARTOMO!" sentak Nimaz, tanpa menoleh.

"Akung, kenapa Uti malahin Papa?" cicit Eila, menoleh pada sang kakek.

Hartomo menggeleng dengan jari telunjuk ditempelkan ke bibir.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang