55. Bagian dari Luka

2.1K 191 25
                                    

Think like a calm and vast ocean.













Nada dibawa ke sebuah rumah dengan desain jawa modern, berlantai dua—yang menggunakan soko di bagian depan juga atapnya. Lalu di bagian teras dibangun atap terpisah dengan atap utama yang menyerupai konsep pendopo. Buat Nada yang digandeng oleh sang driver sedikit mengurangi prasangka buruknya setelah menginjakkan kaki di pekarangan rumah sederhana tersebut, sebab bangunan di depannya tidak seperti markas penculik yang kerap ia tonton di televisi. Sebaliknya. Bagunan itu seperti rumah impiannya.

Ck, sadar, Nad!

Memungut kewarasan, Nada menoleh—masih terus berjalan beriringan dengan sang driver. "Pak, ini rumah siapa?"

"Maaf, Mbak," ringis sang driver. "Tugas saya hanya mengantar Mbak Nada. Selebihnya, Mbak temui saja orang yang menyuruh saya."

Kelopak mata Nada berkedip panik.

Orang yang menyuruh saya.

Bapak ini ... orang suruhan?

"Jadi, Bapak bukan—"

"Betul, Mbak," angguk sang driver, memotong. "Saya memang driver ojol, tapi tadi ...," jeda sejenak, napasnya dihela, "entah gimana caranya, atau mungkin kebetulan, ada tiga laki-laki datang ke saya, lalu meminta saya untuk mengantar Mbak kemari. Awalnya saya tolak, tapi orang itu mengancam saya, Mbak. Tapi Mbak bisa berikan nomor keluarga Mbak ke saya, biar nanti saya sampaikan ke mereka kalau Mbak nggak keberatan. Sekali lagi, maaf, Mbak, saya bingung harus gimana."

Bisa Nada lihat kejujuran di sepasang mata si driver.

Bapak ini hanya diperintah. Dan memang sudah benar; ia menjalankan amanat tersebut. Walau Nada tahu, ada perasaan bersalah juga di hati sang driver. "Tidak perlu, Pak. Lebih baik Bapak pergi dan lanjutkan tugas Bapak."

"Tapi, Mbak—"

"Selagi Tuhan ada di hati saya, saya akan baik-baik saja, Pak," tegas Nada, meyakinkan.

"Saya benar-benar minta maaf, Mbak," ucap sang driver—untuk ke sekian kalinya.

"Saya maafkan, Pak," balas Nada, tulus.

Sang driver akhirnya mengangguk, ditepuknya sisi pundak Nada sambil menyungging senyum tipis. Nada ikut menganggukkan kepala dan membalas senyum sang driver. Kembali meyakinian diri, juga sang driver—yang nampak masih merasa bersalah.

Lalu sepeninggal sang driver, Nada dengan yakin mengetuk pintu. Menanti pintu terbuka dengan debar jantung yang menggila. Berharap semua akan baik-baik saja, seperti sugestinya tadi. Tapi ... begitu pintu terbuka, kelopak matanya sontak melebar, tak menyangka bahwa orang yang mengundangnya ke sini adalah orang yang belakangan ini kerap dibicarakan penjuru negeri.

Indra Atmaja.

"Akhirnya kita bertemu juga, Nada Judhitia Koentjoro," sambut Indra.

Yang direspons Nada dengan dengkusan basi. "Maaf, saya Nada Judhitia," koreksinya. "Tidak ada klan Koentjoro di hidup saya."

Tawa Indra mengudara sumbang. "Memang keserakahan orang tua saya yang membuat anak-cucu Koentjoro jadi nggak keruan," ungkapnya, mengulas senyum kecut. "Padahal kalau keluarga besar kita masih akur, pasti nggak akan ada Janu di hidup kamu, dan Inez ... nggak akan semenyedihkan itu, karena mungkin kamu bakal jadi sepupu baiknya."

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang